Jakarta, Aktual.com – Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyebut porsi tenaga kerja asing asal China masih tergolong rendah jika dihitung berdasarkan realisasi investasi negeri tirai bambu itu sepanjang Januari-September 2016.
Melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (29/12), jumlah tenaga kerja asing (TKA) China baru yang diserap dari realisasi investasi periode tersebut tercatat 3.718 tenaga kerja atau 0,3 persen dari total penyerapan 975.898 tenaga kerja/lapangan pekerjaan baru.
Jumlah tersebut terdiri atas penyerapan TKA sebanyak 17.966 orang dan penyerapan tenaga kerja Indonesia sebanyak 957.932 orang.
“Ini patut disesalkan sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam perayaan Natal nasional agar semua pihak menghentikan fitnah-fitnah terkait tenaga kerja asing,” kata Tom, sapaan akrab Thomas.
Ia menjelaskan, berdasarkan data BKPM realisasi investasi China melonjak yang pada 2014 berada di peringkat ke delapan, kini di periode Januari-September 2016 mencapai 1,6 miliar dolar AS atau berada di peringkat tiga.
“Peningkatan realisasi investasi yang signifikan tersebut menjadi pemicu meningkatnya penggunaan TKA oleh investor China yang ingin merealisasikan investasinya di Indonesia,” jelasnya.
Data Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja tercatat TKA pada 2011 mencapai 77.307 orang, turun pada tahun 2012 menjadi 72.427 orang.
Kemudian pada tahun 2013 kembali melorot di level 68.957 orang, lalu menurun tipis di posisi 68.762 orang pada 2014.
Pada tahun 2015, posisi tersebut meningkat tipis 69.025 orang serta pada tahun 2016 kembali meningkat menjadi 74.183 orang. Tom menuturkan pergerakan jumlah TKA itu lantaran adanya peningkatan investasi.
Pasalnya, TKA yang datang biasanya khusus didatangkan oleh investor pada awal proyek di mana terjadi pemasangan alat-alat dan permesinan yang harus diimpor dari luar negeri karena tak tersedia di dalam negeri.
Cetak biru dan manual instruksi pemasangan mesin dan alat itu pun seringkali dalam bahasa asing, seperti Bahasa Mandarin, Bahasa Jerman dan Bahasa Jepang. “Jadi agar penyelesaian proyek bisa cepat, jauh lebih efisien untuk datangkan TKA dari negara yang juga tempat asal mesin dan alatnya,” urainya.
Namun, setelah tahun pertama dan tahun kedua proyek lewat, dan pemasangan alat dan mesin sudah tuntas, TKA pasti secepat mungkin dipulangkan oleh investor.
Tom menambahkan, sebagaimana diterangkan Presiden Jokowi, penggunaan TKA tergolong mahal bagi investor, sehingga investor selalu berusaha secepat mungkin mengalihkan fungsi dari TKA kepada tenaga kerja lokal.
“Mayoritas TKA itu sendiri juga biasanya inginnya pulang secepat mungkin, setelah tugas proyeknya di Indonesia sudah selesai,” ujarnya.
Lebih lanjut, Tom menilai rasio penggunaan TKA di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja yang ada masih sangat rendah.
Total tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia hanya 74.000 orang atau 0,062 persen dari total tenaga kerja sebesar 120 juta. Rasio tersebut, menurut dia, masih jauh sangat rendah dibandingkan negara-negara lain seperti Singapura 36 persen, Amerika Serikat 16,7 persen, Malaysia 15,3 persen dan Thailand 4,5 persen. Bahkan di Qatar 94 persen merupakan TKA dan Uni Arab Emirat yang hingga mencapai 96 persen.
“Jadi katakan kita ber-andai-andai bahwa jumlah TKA di Indonesia sebenarnya adalah 10 kali (sepuluh kali lipat) data resmi Kementerian Tenaga Kerja dan Kantor Imigrasi, maka 0,62 persen dari total tenaga kerja Indonesia pun masih jauh terlalu rendah. Negara yang benar-benar modern akan memakai jauh lebih banyak tenaga kerja internasional,” katanya.
Tom mengemukakan, dengan rasio di bawah 0,1 persen, Indonesia sebenarnya membutuhkan lebih banyak TKA agar ada transfer keahlian dan alih pengetahuan agar bisa maju.
Perusahaan Indonesia juga dapat memanfaatkan TKA untuk bisa “mencontek” sistem produksi dan cara manajeman negara lain yang sudah maju.
“Kita yang jadi bos mereka, kita dapat memanfaatkan mereka semaksimal mungkin,” katanya.
Lebih lanjut, Tom menuturkan, semua negara berkembang yang berhasil naik kelas menjadi negara maju, berawal dari investasi asing yang juga membawa teknologi internasional, jaringan pemasaran internasional (untuk meningkatkan ekspor), dan tenaga kerja asing yang amat berperan dalam alih pengetahuan dan alih teknologi.
Menurut dia, tenaga kerja asing dibutuhkan untuk mendukung proses konstruksi investasi.
“Mereka biasanya menggunakan tenaga kerja asing dalam proses konstruksi di tahapan awal investasi. Oleh karena itu angka tenaga kerja asing selalu fluktuatif,” paparnya.
ANT
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan