Jakarta, Aktual.co — Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) Binsar Effendi Hutabarat menegaskan bahwa Indonesia saat ini memiliki 263 blok minyak bumi dan gas bumi (migas). Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan eksplorasi-eksplorasi baru. Dari 263 Blok Migas yang dimiliki Indonesia saat ini, sebanyak 79 Blok Migas sudah produksi. Sedangkan sisanya 184 Blok Migas masih dalam tahap eksplorasi.
Dari 79 Blok Migas milik Indonesia yang sudah produksi, sekitar 55 Blok Migas (70%) dikelola oleh perusahaan migas asing berskala global. Sebut saja, Chevron, Total, Inpex, ExxonMobil, Petronas, Petrochina, CNOOC, Santos, British Petroleum (BP), Hess, Stat Oil, Eni dan sebagainya.
“Sepanjang 2015 – 2021, ada 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya. Berdasarkan peraturan, kontrak pengelolaan Blok Migas di Indonesia sepanjang 30 tahun. Lalu untuk perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Migas diberikan selama 20 tahun. Maksimal, pengelolaan Blok Migas di Indonesia selama 50 tahun kemudian diserahkan kepada Negara dan harus dikelola oleh National Oil Company (NOC) atau BUMN Migas, yakni Pertamina”, ujar Binsar Effendi Hutabarat yang Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) tandas.
Proses pengajuan perpanjangan kontrak Migas menurutnya, diberikan waktu 10 tahun hingga 2 tahun sebelum habis masa kontrak. Artinya, bagi kontrak Migas yang habis tahun 2021, akan menjadi tanggung jawab pemerintahan 2014 – 2019, atau pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Sebab klasifikasi 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya antara 2015 – 2021, ada dalam pemerintahan Jokowi-JK lebih dulu.
Jika ditelaah tutur Binsar Effendi yang juga Ketua FKB KAPPI Angkatan 1966, target produksi migas 2013 di angka 840.000 barel per hari (bph), tapi realisasinya 827.000 bph, berkurang 13.000 bph. Rata-rata produksi 1 Blok Migas sekitar 10.000 bph. Angka itu diperoleh dari realisasi produksi migas (lifting) APBN-P tahun 2013 sebesar 827.000 bph dibagi 79 Blok Migas Produksi.
Dengan produksi 827.000 bph di 2013 lanjutnya, berarti produksi setahun 301.855.000 barel. Jika dipakai harga minyak US$ 100/barel waktu itu, total nilai produksi 28 Blok Migas itu setahun US$ 30.185.500.000. Dalam rupiah, nilai produksi 28 Blok Migas itu sekitar Rp. 302 Triliun. Jika 28 Blok Migas itu memperpanjang kontraknya 20 tahun, kira-kira nilai kontraknya Rp. 6.040 triliun.
“Angka Rp. 6.040 triliun itu sangat besar, kurang lebih setara dengan angka PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia setahun. Dan pastinya, kontrak 28 Blok Migas senilai Rp. 6.040 triliun itu tanggung jawab pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK. Para pemain minyak raksasa global sudah pasti akan berpartisipasi aktif dalam mempengaruhi pemerintahan sekarang ini. Itulah sebabnya GNM menyerukan rebut kedaulatan energi yang dikuasai oleh negara demi untuk kepentingan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini amanat konstitusi negara, tak perlu dibantah”, imbuh Binsar Effendi tegas.
Koordinator Eksekutif GNM Muslim Arbi mengingatkan, menurut Abraham Samad, waktu menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Samad katakan potensi pendapatan negara hilang Rp. 7.200 triliun setiap tahun. Perhitungan KPK, royati dari Blok Migas yang tidak dibayarkan kepada negara mencapai Rp. 7.200 triliun tiap tahun. Samad menjelaskan, hal itu terjadi karena para kontraktor Migas tidak mematuhi perjanjian yang telah disepakati. Lalu Samad sebutkan, jika digabung seluruh industri mineral dan pertambangan, royalti yang tidak dibayarkan mencapai Rp. 20.000 triliun setahun. Samad pun bilang, jika dila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp. 20 juta.
Apa yang terjadi disini?, keluh Muslim Arbi yang juga Kepala Staf Invokasi Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi (GALAK). “Indonesia sudah betul-betul tidak tertutup pada asing, tapi bukan berarti asing boleh terus menerus merugikan Indonesia. Hanya saja karena raksasa migas global terus menerus menipu Indonesia, bahkan ketika sudah diberi kesempatan untuk mengelola migas Indonesia, itu sebabnya Komandan GNM serukan rebut kedaulatan energi milik negara yang bakal habis masa kontraknya dengan asing”, ucapnya geram.
Tak hanya soal tak bayar royalti sehingga Indonesia merugi, lanjut Muslim Arbi yang juga Koordinator Eksekutif Gerakan Perubahan (GarpU). “Raksasa migas asing juga menipu Indonesia dengan menurunkan produksi migasnya perlahan. Menjelang habis masa kontrak Blok Migas 2015 – 2021, raksasa migas asing dengan sengaja terus mengurangi produksi. Tujuannya jelas, ingin menciptakan permintaan (demand) lebih. Sehingga kontrak akan diperpanjang, dan bisa menambah kontrak di Blok Migas lain. Ini yang perlu disikapi kenapa Bolk Mahakam masih belum diputuskan oleh Menteri ESDM Sudirman Said untuk diserahkan 100% ke Pertamina. Selama ini hanya omong kosong saja”, katanya sengit seraya menuding Sudirman Said jua penggiat neo-lib.
Tapi kalau dilihat lebih jauh, kata Juru Bicara GNM, Teddy Syamsuri, alasan kenapa produksi menurun dan harga BBM melambung, ada di tangan kontraktor 79 Blok Migas tersebut. “Sederhana saja. Sebab dengan kontraktor asing itu menurunkan produksi secara berkala, kontrak harus diperpanjang dan perlu eksplorasi tambahan. Bahasa yang umum dari raksasa migas asing adalah bahwa Pertamina tak mampu tingkatkan produksi secepat itu, maka diperpanjanglah kontrak mereka. Lalu asing-asing itu juga akan katakan jika perpanjang kontrak pun tak cukup, harus tambah Blok Migas lain karena kebutuhan BBM untuk rakyat di dalam negeri terus bertambah. Dengan cara ini, raksasa migas asing memperoleh dua keuntungan. Pertama, perpanjangan kontrak Blok Migas dan kedua, kontrak baru di Blok Migas lain bisa didapat”, terangnya.
“Ini yang kerap menyesatkan dan Pemerintah juga bisa terpengaruh”, kata Teddy yang juga Ketua Umum Forum Sildaritas Masyarakat Peduli Migas (Fortas-MPM).
Menurut Teddy yang juga Ketua Umum Lintasan ’66, sebenarnya negara terus dibohongi oleh raksasa migas asing ini. Dengan segala tipu daya raksasa migas asing turunkan produksi untuk naikkan harga BBM. Dengan segala tipu daya raksasa migas asing didapatkan perpanjangan kontrak lagi atau kontrak baru di Blok Migas lain. “Dengan segala tipu daya raksasa migas asing juga di duga tidak membayarkan royalti kepada Indonesia. Faktanya, selama 2015 – 2021, terdapat 28 Blok Migas yang habis masa kontrak yang tentunya menjadi tanggung jawab pemerintahan 2014 – 2019, tapi lifting minyak disebut menurun dan harga BBM dinaikan hanya dengan alasan perkembangan harga minyak dunia dan fluktuasi nilai rupiah melamah terhadap dolar yang jelas mengikuti mekanisme pasar, yang justru bertentangan dengan UUD 1945”.
Sebab itu, GNM menyerukan kepada setiap anak bangsa yang cinta tanah-air dan rakyatnya,
“Rebut kedaulatan energi milik negara demi kemakmuran rakyat. Kita dengan Pertaminanya dipastikan mampu mengelola 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya, termasuk Blok Mahakam pasca 2017 yang mengandung produksi seperlima dari produksi migas nasional,” pungkas Komandan GNM Binsar Effendi Hutabarat.
Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) Binsar Effendi Hutabarat