Jakarta, Aktual.com — Bekas Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron kerap mendapatkan duit ‘setoran’ dari pejabat, yang pernah menjadi Kepala Dinas Kesehatan setempat. Fuad menerima ‘setoran’ itu dari setiap kegiatan Dinkes Kabupaten Bangkalan sejak dia dilantik sebagai Bupati dari 2003 samapi 2010.

Hal itu terungkap saat sidang lanjutan untuk terdakwa Fuad Amin Imron di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (3/8). Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menghadirkan dua mantan Kadinkes Bangkalan, Sri Wahyu Utami (periode 2004-2005), Fahrur Rozi (periode 2007-2010), serta Nur Aida Rahmawati yang saat ini masih menjabat.

Ketiganya membenarkan, jika Fuad selalu menerima ‘jatah’ sebesar 10 persen dari total anggaran sebuah kegiatan milik Dinkes Bangkalan. Hal itu pun mulai terungkap saat ketiganya dikonfirmasi oleh Jaksa KPK mengenai proses pencairan dana kegiatan Dinkes.

Pertama Sri Wahyu. Dia mengaku, jika pencairan dana anggaran baru bisa dilakukan jikalau mendapat persetujuan dari Fuad. Bahkan, Sri Wahyu pun diingatkan mengenai ‘fee’ tersebut usai dilantik oleh Fuad pada 2004, yang ketika itu menjabat sebagai Bupati Bangkalan.

“Setelah saya diangkat (proses pelantikan oleh Fuad Amin), ‘jangan lupa kewajibannya (fee 10 persen)’. Memang mekanismenya seperti itu dari dulu,” beber Sri Wahyu, sambil menirukan perkataan Fuad, di Pengadilan Tipikor.

Hal senada juga disampaikan Fahrur. Dia menjelaskan, untuk ‘fee’ 10 persen itu dikeluarkan dari kegiatan yang total anggarannya lebih dari Rp15 juta. “Kalau di atas Rp15 juta harus lewat beliau (Fuad). Kalau di bawah Rp 15 juta lewat Bendahara Keuangan,” kata Fahrur.

Bukan hanya Sri Wahyu dan Fahrur yang membenarkan adanya ‘jatah’ untuk Fuad. Kepala Dinkes Bangkalan yang saat ini masih menjabat, Nur Aida Rahmawati juga mengatakan hal yang serupa.

Dia menjelaskan, setiap anggaran sebuah kegiatan Dinkes Bangkalan, dapat dicairkan dengan lebih dulu mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP). Selanjutnya, disetujui oleh Kepala Dinkes, dengan menerbitkan SPM (surat perintah membayar), baru diserahkan ke Fuad.

“Kemudian SPM, SPM yang ada direkap untuk mendapat persetujuan dari bapak (Fuad). Kemudian kita bawa ke kantor keuangan untuk diterbitkan SP2D, akan dibawa ke Bank Jatim untuk dicairkan,” kata Nur di depan Majelis Hakim.

Setelah itu, kegiatan yang anggarannya disetujui oleh Fuad, akan ditandai dengan adanya ciri di fisik dokumen yang diajukan. “(Tandanya) di pojokan. Ditekuk sedikit terus dicontreng. Saya nggak tahu (maksudnya). Tapi pas dibawa ke BPKAD itu bisa dicairkan,” ujar dia.

Seperti diketahui, KPK mendakwa Fuad Amin Imron telah melakukan tindak pidana pencucian uang sejak menjabat sebagai Bupati Bangkalan, dari 2003 sampai 2010. Pencucian uang itu ditutupi dengan menempatkannya di penyedia jasa keuangan dengan saldo akhir Rp 904,391 juta, serta dengan membuat polis asuransi yang tagihannya mencapai Rp 6,979 miliar.

Selain itu, untuk mensamarkan uang-uang haram tersebut, Fuad diduga membeli kendaraan bermotor senilai Rp 2,214 miliar, tanah dan bangunan Rp 42,425 miliar. Dugaan tersebut menguat, setelah KPK menghitung pendapatan asli Fuad selama menjabat sebagai Bupati Bangkalan, yang hanya mencapai Rp 3,690 miliar.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu