Foto dari udara menunjukkan salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, DKI Jakarta, Sabtu (23/7). Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta telah memutuskan menghentikan proyek reklamasi secara permanen di Pulau G dan selanjutnya pelaksanaan reklamasi diserahkan atau menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama/16.

Jakarta, Aktual.com-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal terlihat tidak serius menangani kasus dugaan suap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).

Ketidakseriusan KPK terlihat dari beberapa kegiatan, semisal penggeledahan. Dari tempat-tempat yang digeledah, Komite Pemantau Legislatif (Kopel) sudah bisa menyimpulkan bahwa lembaga antirasuah tidak serius.

“Mengapa KPK tidak menyegel ruang Sekretariat DPRD, tidak menyegel ruang Bappeda. Padahal kita ketahui betul, bahwa dokumen fisik soal hasil rapat pembahasan RTRKSP berada di situ,” papar Koordinator Kopel, Syamsudin Alimsyah, di Jakarta, Minggu (28/8).

Tak hanya soal penggeledahan. Syamsudin pun mempertanyakan mengapa KPK tidak menelusuri proses pembahasan Raperda RTRKSP antara Balegda DPRD dengan Bappeda DKI. Terkhusus soal formulasi tambahan kontribusi pengembang reklamasi pantura Jakarta.

“Ketika misalnya perdebatan soal berapa persen. Kita lihat betul bahwa ada beberapa rapat yang bukan diikuti oleh pengambil kebijakan di DPRD. Dan KPK tidak menelusuri itu. Merujuk hal itu menurut saya KPK tidak serius,” ketusnya.

Padahal menurut Syamsudin, dari proses pembahasan itu KPK bisa menemukan pintu masuk dugaan suap pengembang reklamasi ke anggota DPRD selain Mohamad Sanusi. Sebab, hasil dari pembahasan itu akan dibawa ke paripurna yang sebelumnya akan dibahas bersama antara pimpinan fraksi.

“Ketika kemudian ada 5 kali tidak kuorum, dimana 5 kali tidak kourum itu sesungguhnya adalah sesuatu yang tidak pernah terjadi di daerah-daerah manapun,” jelasnya.

Seperti diketahui, sejak berjalannya penyidikan kasus dugaan suap pembahasan raperda RTRKSP di awal-awal April 2016, KPK baru menetapkan 3 orang tersangka. Mereka adalah Sanusi selaku Ketua Komisi D DPRD DKI, Ariesman Widjaja sebagai Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land dan asisten pribadinya bernama Trinanda Prihantoro.

Dalam pengembangan kasusnya, KPK kemudian menemukan fakta indikasi keterlibatan anggota DPRD lain, sebut saja Ketua dan Wakil Ketua DPRD DKI, Edi Prasetyo Marsudi dan M Taufik.

KPK pun mengantongi rekaman pembicaraan antara Prasetyo, Taufik dan Chairman PT Agung Sedayu Grup, Sugianto Kusuma alias Aguan. Bahkan ada pula kesaksian Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah, Budi Nurwono yang menyebut adanya kesepakatan ‘fee’ Rp50 miliar antara Aguan dan petinggi di DPRD DKI.

Namun hingga saat ini para terduga itu belum juga ditetapkan sebagai tersangka. KPK mengaku masih memerlukan waktu untuk menganalisa data dan informasi yang telah mereka terima.

Artikel ini ditulis oleh: