Ilustrasi - Para atlet penyandang disabilitas berkiprah dan berprestasi di pentas olahraga

Jakarta, Aktual.com – Masih segar dalam ingatan tatkala pahlawan-pahlawan olahraga sukses membawa pulang total sembilan medali ke Tanah Air dari ajang olahraga terbesar sedunia khusus untuk penyandang disabilitas, Paralimpaide Tokyo 2020.

Meski digelar di tempat yang sama dengan perjuangan dan heroisme yang tidak jauh berbeda, kisah para petarung Paralimpiade ini ternyata tidak sehingar-bingar cerita atlet yang berkiprah di Olimpiade.

Padahal torehan dua emas, tiga perak dan empat perunggu Paralimpiade Tokyo yang diukir para atlet penyandang disabilitas Indonesia ini jelas jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan raihan atlet-atlet nasional yang bertarung di Olimpiade Tokyo 2020 beberapa waktu sebelumnya. Di Olimpiade tersebut, kontingen Indonesia hanya mampu mengemas total lima medali, satu emas-satu perak dan tiga perunggu.

Dari Negeri Sakura ini pula para atlet penyandang disabilitas menorehkan sejarah baru dalam dunia ke-olahraga-an nasional karena mereka mampu mengemas medali terbanyak sepanjang keikutsertaan Indonesia di ajang Paralimpiade sejak tahun 1976.

Mengutip catatan sejarah pada debut atlet-atlet paralimpik Indonesia di Paralimpiade Toronto 1976, saat itu mereka mampu meraih enam medali (dua emas, satu perak, dan tiga perunggu) dan menempati peringkat ke-26 di klasemen akhir Paralimpiade Toronto 1976.

Selanjutnya di Paralimpiade Arnhem 1980, kontingen Indonesia membawa pulang dua emas dan empat perunggu. Kemudian di Paralimpiade 1984 dan 1988, kontingen Indonesia total mengemas empat medali, yakni dua medali di Paralimpiade Stoke Mandeville dan New York 1984 (satu perak dan satu perunggu) dan dua medali perak dari Paralimpiade Seoul 1988.

Setelah itu, atlet-atlet P11aralimpiade Indonesia absen dan tanpa medali sejak 1992 hingga 2008 dan kontingen Merah Putih baru bisa membawa pulang lagi medali ke Tanah Air saat Paralimpiade London 2012 dengan satu medali perunggu.

Berselang empat tahun kemudian di Paralimpiade Rio de Janeiro 2016, Indonesia membawa pulang satu medali perunggu dan kini di Paralimpiade Tokyo 2020, Indonesia sukses meraup sembilan medali dan finis di urutan ke-43 klasemen akhir Paralimpiade Tokyo. Sepanjang keikutsertaan di Paralimpiade sejak 1976 hingga 2021, Indonesia total telah mengumpulkan 27 medali.

Berkaca dari catatan kiprah para penyandang disabilitas Indonesia pada ajang pesta olahraga terbesar se-jagat untuk para atlet berkebutuhan khusus tersebut, jelas terlihat bahwa mereka –para penyandang disabilitas– adalah aset berharga bangsa ini. Mereka telah membuktikan diri tidak mau kalah dengan atlet-atlet dengan fisik yang sempurna untuk mengharumkan sang Merah Putih di mata dunia.

Memilih olahraga

Hingga saat ini data tentang seberapa banyak jumlah penyandang disabiitas di seluruh Tanah Air masih simpang siur. Namun setidaknya, data nasional sementara yang bisa dijadikan patokan untuk menggambarkan keseluruhan populasi dengan ragam disabilitas dan karakteristik masing-masing disabilitas itu adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018.

Berdasarkan data Susenas 2018, terdapat sekitar 30,38 juta jiwa atau sekitar 14,2 persen penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas. Sebagaimana amanat konstitusi, maka negara harus hadir memberikan perlindungan, pengayoman dan pemenuhan atas hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tanpa kecuali.

Sayangnya hingga saat ini masih banyaknya diskriminasi dan kurangnya perhatian masyarakat terhadap beragam kebutuhan para penyandang disabilitas ini termasuk dalam hal mobilitas, akses pekerjaan yang layak, akses ke jenjang-jenjang pendidikan hingga perlindungan hukum.

Contoh kecil diskriminasi semisal untuk memasuki dunia kerja masih banyak dijumpai adanya persyaratan seseorang harus “sehat jasmani dan rohani” yang kerap dimaknai secara harfiah sang pelamar kerja harus memiliki fisik yang sempurna alias tidak cacat.

Belum lagi masih adanya fakta bahwa banyak dari para penyandang disabilitas itu berasal dari keluarga miskin yang terisolasi dari pelayanan sosial sehingga keberadaan mereka semakin terpinggirkan, tidak terpenuhi kebutuhan nutrisi dan tidak mendapatkan perawatan khusus sesuai dengan kecacatannya.

Dengan segala keterbatasan dan pembatasan-pembatasan itu, tatkala seorang penyandang disabilitas lebih memilih berkiprah di dunia olahraga ketimbang berprofesi lainnya maka hal itu sangat bisa difahami.

Berkegiatan olahraga tidak membutuhkan banyak persyaratan yang njelimet dan bukan hanya milik mereka dengan fisik yang sempurna saja. Setiap orang berhak melakukannya termasuk para penyandang disabilitas ini.

Media olahraga menjadi wadah mudah bagi para penyandang disabilitas dalam mengeksplorasi bakat keolahragaan yang terpendam atau kemampuan yang dimilikinya, sehingga mereka bisa mengaktualisasikan diri saat berkompetisi dan meraih prestasi. Kobar api semangat mereka tidak kalah dan torehan prestasi pun terbukti cukup membanggakan.

Tapi menjaring dan kemudian membina bibit-bibit unggul atlet disabilitas ini tidak semudah membalik telapak tangan, apalagi mencetak mereka menjadi seorang juara. Ada proses panjang bergelimang peluh, air mata hingga cucuran darah disana yang bisa jadi kuantitas dan kualitasnya dua kali lipat dari atlet normal.

Semua bisa dimaklumi tatkala melihat kenyataan bahwa para penyandang disabilitas ini sebelumnya juga harus bertarung dengan diri sendiri dalam mengatasi keterbatasan fisik hingga akhirnya perlahan-lahan terbangun kepercayaan diri untuk menggapai prestasi setinggi-tingginya.

Dengan demikian, tahapan-tahapan sejak menjaring hingga menempa mereka menjadi atlet handal itu pastinya sangat berbeda dengan perlakuan terhadap atlet non-disabilitas. Misalnya saat proses talent scouting, sang pelatih tidak bisa begitu saja menawarkan seseorang penyandang disabilitas untuk menjadi olahragawan.

Kondisi fisik dan psikologis calon atlet difabel ini harus benar-benar dipahami terlebih dahulu oleh sang pelatih karena ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang itu menyandang disabilitas, bisa sejak dilahirkan atau karena faktor lain yang mengakibatkan sebagian anggota tubuhnya tidak lagi berfungsi secara normal. Ragamnya pun bermacam-macam, bisa menyandang disabilitas sensorik, disabilitas motorik, disabilitas intelektual atau disabilitas ganda.

Setelah penjajagan awal, baru kemudian mulai menentukan jenis olahraga seperti apa yang paling cocok atau sesuai dengan kondisi keterbatasan berikut minat sang calon atlet. Pilihan olahraga pun difokuskan kepada jenis olahraga prestasi, bukan sekadar olahraga rekreasi maupun rehabilitasi.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah memberikan fasilitas yang bisa membuat mereka merasa nyaman, dengan demikian sang atlet akan lebih termotivasi untuk tekun berlatih dan meniti prestasinya. Mereka, atlet-atlet penyandang disabilitas ini telah melewati satu fase perjuangan tanpa batas untuk menaklukkan keterbatasan.

Atensi Pemerintah dan Peparnas

Pemerintah telah memberi jaminan tidak adanya pembedaan bagi para atlet penyandang disabilitas yang menjadi duta olahraga dan berprestasi di ajang nasional maupun internasional dalam rupa pemberian bonus dan setumpuk apresiasi lainnya.

Untuk peraih medali di Olimpiade Tokyo 2020, pemerintah mengguyur bonus masing-masing Rp5,5 miliar untuk sekeping medali emas, Rp2,5 miliar bagi peraih perak dan Rp1,5 miliar untuk perunggu. Besaran bonus yang sama diserahkan pula kepada seluruh atlet yang berprestasi di Paralimpiade Tokyo 2020. Sementara bagi atlet-atlet nonperaih medali masing-masing tetap mendapat bonus dengan besaran senilai Rp100 juta.

Sejatinya tidak ada yang baru dan istimewa disana karena memang sudah selayaknya demikian, yakni atensi dan apresiasi bagi setiap torehan prestasi tanpa kecuali apalagi telah mengharumkan nama negara di pentas internasional.

Apresiasi-apresiasi semacam itu hanyalah sebagian kecil atensi dan masih banyak hal lain yang lebih penting dan strategis untuk dilakukan secara berkelanjutan, semisal bagaimana upaya negara mencetak lebih banyak lagi calon-calon juara baru atau bagaimana menciptakan atmosfer gemar berolahraga dan berkompetisi yang sehat pada seluas-luasnya lapisan masyarakat.

Jangan pula dilupakan perlunya negara hadir dalam memberi kepastian atas jaminan masa depan yang menyejahterakan tatkala atlet-atlet tersebut nantinya memasuki masa pensiun. Dengan demikian tidak ada lagi kisah-kisah tentang nasib mantan atlet yang hidup mengenaskan di hari tuanya.

Semua itu –dan tentunya segala upaya pemenuhan kebutuhan berprestasi atlet difabel– perlu terakomodir dalam implementasi rancangan desain besar olahraga nasional (DBON) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo melalui Perpres No 86 tahun 2021 bertepatan dengan peringatan Hari Olahraga Nasional 9 September 2021.

Dalam road map DBON yang bakal dilakukan secara efektif, efisien, terukur, akuntabel, sistematis dan berkelanjutan dalam lima tahapan hingga tahun 2045 itu semakin mempertegas lagi kesetaraan antara olahraga disabilitas dan nondisabilitas mulai dari jenjang kabupatan/kota hingga level nasional.

Dalam konteks kesetaraan perlakuan, hari ini 5 November 2021, Presiden Jokowi membuka secara resmi perhelatan Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) VI di Papua. Tak kurang dari 3000-an dari 34 provinsi se-Tanah Air berkompetisi dalam 12 cabang olahraga dengan 640 nomor pertandingan di Kota dan Kabupaten Jayapura guna memperebutkan 861 medali emas, 861 medali perak dan 1.090 medali perunggu, sampai 15 September nanti.

Meski Peparnas tak sepopuler dan seheboh PON karena gaungnya tidak sampai ke telinga banyak orang Indonesia, namun yang pasti semangat para atlet penyandang disabilitas dari seluruh penjuru negeri ini semakin terpacu demi membuktikan bahwa mereka memang layak diperhitungkan.

Dengan demikian maka bangsa ini nantinya akan memiliki sumber daya atlet penyandang disabilitas yang melimpah untuk masa-masa mendatang. Proses regenerasi juga akan berjalan secara alamiah seiring dengan bergulirnya kompetisi itu, mengingat prestasi merupakan muara dari suatu proses pembinaan dari hulu hingga hilir secara sistematis dan berkelanjutan.

Pada sisi lain, bangsa ini bisa menarik banyak pelajaran dari Peparnas untuk menjadi masyarakat Indonesia yang terbuka, saling menghargai dan merangkul setiap perbedaan.

Para atlet penyandang disabilitas ini tidak membutuhkan rasa iba dari orang-orang yang dikaruniai kesempurnaan tatkala melihat keterbatasan dan ketidaksempurnaan fisik mereka. Kontestan Peparnas Papua hanya ingin mendapat kesempatan yang sama untuk unjuk kebolehan dalam kompetisi dan silahkan fokus pada potensi yang mereka miliki.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Dede Eka Nurdiansyah