Jakarta, Aktual.com – Keluarga mahasiswa ITB membuat surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Surat terbuka ini sebagai poerwakilan perasaan masyarakat terhadap apa yang terjadi belakangan ini mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dikutip dari laman KM ITB, dijelaskan bahwa tidak ada maksud dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/ atau pengancaman, menyebarkan berita bohong dan menyesatkan atau menimbulkan rasa kebencian (hate speech) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 dan 28 Undang UU 11 tahun 2008 dan penjelasnya pada UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[2].
Berikut isi lengkap surat terbuka KM ITB kepada Presiden Jokowi, yang juga dapat dibuka di https://km.itb.ac.id :
Dengan Nama Tuhan yang Maha Pengasih, dan Maha Penyayang
Kepada
Joko Widodo,
Presiden Republik Indonesia
Kami, Keluarga Mahasiswa ITB, mengunakan hak konstitusi kami yang dijamin dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat[1];
maka melalui surat ini, kami sama sekali tidak bermaksud untuk dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/ atau pengancaman, menyebarkan berita bohong dan menyesatkan atau menimbulkan rasa kebencian (hate speech) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 dan 28 Undang UU 11 tahun 2008 dan penjelasnya pada UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[2].
Kami, melalui surat ini, hanya mewakili perasaan yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai nurani serta mengeluarkan pendapat, dengan hak yang dijamin konstitusi, atas apa yang terjadi belakangan ini mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memperhatikan kondisi masyarakat, di tahun baru 2017 ini, terdapat beberapa kebijakan/tindakan yang diambil oleh pemerintah yang berpotensi untuk menyengsarakan rakyat, melemahkan daya beli masyarakat. Terdapat pula beberapa kebijakan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut disusun pembahasan mengenai kebijakan tersebut ke dalam lima bagian dan dilengkapi oleh pernyataan sikap dan imbauan di akhir surat ini.
BAGIAN I
MENGENAI KENAIKAN BBM SESUAI HARGA PASAR
Penetapan harga dasar baru BBM Jenis Umum yang mulai berlaku pada pukul 00.00 tanggal 5 Januari 2017 dengan kenaikan sebesar Rp 300 Rupiah dan harga yang berbeda-beda di setiap wilayah, melalui Surat Keputusan Direktur Pemasaran PT Pertamina Nomor Kpts-002/F00000/2017-S3 dan 003/F00000/2017-S3 tanggal 4 Januari 2017[3] bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam Perpres No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Pasal 14, dijelaskan bahwa Harga Dasar dan Harga Eceran BBM (dalam hal ini meliputi BBM Tertentu, BBM Khusus Penugasan, dan BBM Umum/Non Subsidi) ditetapkan oleh Menteri ESDM.
Namun apa yang terjadi sekarang ialah, penetapan harga dilakukan oleh Badan Usaha, dalam hal ini oleh Direktur Pemasaran Pertamina. Meski memang yang ditetapkan adalah harga BBM Non-Subsidi, tetapi tetap tindakan yang terjadi sekarang, tetap bertentangan dengan Pasal 14 Perpres No 191 tahun 2014. Berdasarkan keterangan pers, kenaikan ini akan dievaluasi setiap dua minggu sekali, dan mengikuti perkembangan (kenaikan) harga minyak dunia[4].
Padahal dalam Putusan MK Perkara No 002/PUU-I/2003 telah ditentukan bahwa ketentuan Harga BBM yang diserahkan kepada mekanisme pasar (persaingan usaha yang sehat dan wajar) dalam pasal 28 ayat (2) dan (3) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945[5]. Jadi apa yang terjadi pada saat ini, selain bertentangan dengan Perpres No 191 tahun 2014, juga bertentangan dengan Putusan MK yang menyatakan bahwa praktik penyerahan harga BBM kepada pasar tidak sesuai dengan UUD 1945.
BAGIAN II
MENGENAI PENCABUTAN SUBSIDI LISTRIK 900VA
Keputusan untuk mencabut secara bertahap subsidi listrik untuk pelanggan rumah tangga 900 volt ampere juga dianggap mencekik bagi sebagian masyarakat yang menjadi pelanggan. Klaim pemerintah bahwa terdapat sebagian besar dari 22,9 juta rumah tangga ialah golongan mampu yang tidak berhak mendapatkan subsidi listrik yakni sebesar sekitar 18,8 juta pelanggan, dan hanya 4,1 juta pelanggan yang berhak[6].
Akan tetapi, pencabutan bertahap ini tentu secara makro akan mendorong peningkatan inflasi selain memperluas ruang fiskal dan secara mikro akan melemahkan daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah yang menjadi pelanggan utama listrik berdaya 900VA. Masyarakat yang terkena dampak tentu akan merasakan “pemiskinan relatif” yang disebabkan oleh berkurangnya pendapatan yang diterima mereka karena kebutuhan pengeluaran yang perlu ditunaikan untuk membayar listrik yang melonjak 143% hingga Mei 2017[7].
Terlebih lagi, listrik dengan daya 900VA adalah salah satu komponen kebutuhan hidup layak[8] yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2012 yang semestinya akan memengaruhi penetapan upah minimum. Namun, apakah akan ada penyesuaian penetapan upah minimum dalam jangka waktu lima bulan kedepan untuk menyesuaikan kenaikan listrik 900VA ini?
Jika pemerintah mengambil keputusan untuk menaikkan listrik golongan ini (dibanding memilih kebijakan lain) tanpa diikuti dengan kenaikan upah minimum, pemerintah sama saja secara sengaja meningkatkan pengeluaran dari jutaan rakyat Indonesia yang akan berujung pada pemiskinan relatif.
BAGIAN III
MENGENAI MASA DEPAN HILIRISASI MINERBA PASKA RENCANA PERUBAHAN KEEMPAT PP 23/2010
Rancangan Peraturan Pemerintah Perubahan Keempat PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sedang dibahas dan akan ditetapkan menjadi PP dalam waktu dekat. Isinya di antaranya ialah (i) Permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP)/Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi dapat meminta perpanjangan paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun sebelum jangka berakhirnya IUP/IUPK Operasi Produksi.
(ii) Pemegang Kontrak Karya (KK) diberikan kesempatan untuk melakukan penjualan ke luar negeri hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu dengan ketentuan mengubah status menjadi IUPK-OP,
(iii) Penjualan ke luar negeri dilakukan dengan ketentuan a. telah atau sedang membangun fasilitas pemurnian di dalam negeri baik secara sendiri maupun bekerja sama, b. membayar bea keluar atas hasil pengolahan yang dijual ke luar negeri dengan ketentuan perundang-undangan,
(iv) Pengenaan bea keluar digunakan untuk pembiayaan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian oleh BUMN yang ditunjuk menteri,
(v) Penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah dan jangka waktu tertentu tidak berlaku bagi komoditas mineral logam, bauksit, timah, emas, perak, kromium.[9] Sedangkan bagi komoditas tembaga masih berlaku!
Memang, hal positif yang didapat dari RPP ini ialah renegosiasi kontrak KK semestinya dapat berlangsung relatif lebih mudah. Akan tetapi dari yang seharusnya apabila habis masa kontrak di tahun 2021 pembicaraan perpanjangan kontrak baru bisa dilakukan pada tahun 2019, dengan kebijakan ini, perpanjangan kontrak dapat dilakukan sejak 2016.
Sungguh bertentangan dengan visi mengenai Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong[10]! Terlebih lagi, penetapan RPP ini akan sangat menyalahi Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, karena semestinya ketentuan kewajiban peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya dilaksanakan 5 tahun yakni pada tahun 2014. Akan tetapi diperpanjang selama 3 tahun hingga 2017, dimana setelahnya Pemegang KK, IUP OP Mineral Logam, hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) hasil produksi yang telah dilakukan pemurnian sesuai batasan minimum pemurnian[10].
Sehingga ekspor barang mentah, dan juga konsentrat, tidak boleh dilakukan sebelum dimurnikan di dalam negeri. Namun sekarang, Komoditas selain yang tersebut diatas, masih boleh dijual dalam jumlah dan waktu tertentu tanpa harus dimurnikan terlebih dahulu. Apakah 8 tahun semenjak 2009 masih tidak cukup juga untuk mengumpulkan bea keluar yang selama ini dipungut oleh negara untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian?
Menurut data perkembangan ekspor bijih tembaga menunjukan lonjakan paling tinggi dalam kurun 2008-2011 yakni 11x lipat[10], juga tembaga ialah komoditas yang memiliki total jumah sumberdaya dalam bentuk bijih terbesar dibandingkan komoditas lainnya[11].
Anehnya, komoditas tembaga bukan salah satu komoditas yang terdaftar memiliki rencana pembangunan smelter/fasilitas pemurnian dari 66 rencana yang ada di tahun 2014[10]. Tapi dalam rencana peraturan yang baru, Tembaga tidak termasuk komoditas yang dikecualikan untuk tidak diekspor ke luar negeri.
Dapat dilihat bahwa apabila kemudian kebijakan ini, Peraturan Pemerintah Perubahan Keempat PP Nomor 23 Tahun 2010, dikeluarkan oleh pemerintah, maka secara nyata, Presiden, telah melanggar sumpah untuk menjalankan kekuasaan dengan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, dan melanggar hakikat Peraturan Pemerintah sebagai Instrumen untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya bukan untuk menjalankan Undang-Undang semau-maunya, sehingga tindakannya bertentangan dengan UUD 1945.
BAGIAN IV
MENGENAI KENAIKAN HARGA STNK, TNKB DAN BPKB
Kenaikan harga STNK, TNKB dan BPKB yang efektif mulai berlaku pada tanggal 6 Januari 2017[12] dinilai memberatkan masyarakat. Kenaikan tarif yang hingga 2-3 kali lipat ini, dinyatakan sebagai langkah praktis untuk mendongkrak penerimaan pendapatan negara terutama yang bersumber dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Akan tetapi, mengatasi kebocoran APBN dengan membebankan biaya tinggi kepada masyarakat tidaklah terdengar sebagai cara yang bijak untuk menunjukkan arah kebijakan pemerintah yang pro rakyat.
Meski diyakini, pengenaan biaya tinggi pada administrasi kendaraan bermotor ini dapat mengurangi konsumsi masyarakat terhadap pembelian atau penggunaan kendaraan pribadi, tetapi skema dalam kebijakan ini tidak jelas apakah PNBP yang didapatkan dari sektor ini digunakan untuk subsidi dan pengembangan trasportasi publik secara spesifik (earmarked allocation) atau hanya masuk kedalam pemasukan PNBP secara umum (melting-pot allocation).
Berbagai keterangan pers media swasta nasional antara Kepala Kepolisian RI, Menteri Keuangan, Menko Perekonomian dan bahkan Presiden sendiri, menambah kebingungan masyarakat karena jajaran pemerintah terkesan saling melempar tanggung jawab dan minim koordinasi pada masa pemerintahan yang memasuki tahun ketiga ini,. Kapolri Jendral Tito Karnavian menyatakan bahwa kenaikan BPKB dan STNK bukan dari Polri, kenaikan tersebut karena temuan BPK[13] dan Badan Anggaran DPR[14].
Sedangkan Juru Bicara BPK tidak mengetahui sumber informasi versi BPK mengenai hal ini apakah benar ada temuan seperti yang dinyatakan Kapolri ataukah tidak.[15] Adapun Pimpinan DPR akan memanggil menkeu terkait kenaikan biaya STNK dan BPKB[16]. Lalu Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjawab bahwa kenaikan biaya urus BPKB dan STNK bukan usulan Kementerian Keuangan, karena pemerintah melalui PP Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah memutuskan untuk menaikkan biaya pengurusan surat-surat kendaraan hasil pertimbangan dari usulan yang diajukan oleh Polri[17], dan telah ditandatangani oleh Presiden sejak 6 Desember 2016.
Secara mengejutkan, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution memberikan keterangan pada 4 Januari 2016 bahwa Presiden mengingatkan kalau untuk tarif PNBP bagi pelayanan ke masyarakat janganlah naik tinggi-tinggi[18]. Lalu siapakah yang menandatangi PP 60/2016 tersebut apabila Presiden tidak tahu bahwa terdapat kenaikan tarif setinggi ini? Apakah berarti PNBP dari STNK dan PNBP ini adalah pungutan liar (Pungli) yang tak sengaja dilegalisasi oleh PP 60/2016? Atau Kapolri menyebarkan berita hoax bahwa bukan Polri yang mengusulkan?
Padahal sangat jelas dinyatakan dalam UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional, bahwa penyusunan APBN berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang penyusunan rancangannya menggunakan rancangan Rencana Kerja (Renja) masing-masing Kementerian/Lembaga[19]. Jadi, meski ada masukan dari BPK, DPR, Menteri Keuangan, namun tetap, pasti Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai Lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan perubahan kenaikan tarif tersebut. Pada Bab 3 Kebijakan dan Target Pendapatan Negara 2017 dan APBN Jangka Menengah 2018-2020 dalam Nota Keuangan APBN 2017 dinyatakan pada huruf C. Kepolisian Republik Indonesia angka 1 :
“Menganalisa dan mengevaluasi jumlah persediaan serta menyiapkan ketersediaan kebutuhan material utama dan pendukung surat ijin mengemudi (SIM), surat keterangan uji ketrampilan pengemudi(SKUKP), surat tanda nomor kendaraan (STNK), surat tanda coba kendaraan (STCK), surat tanda registrasi pengoperasian (STRP), bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB), tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB), tanda nomor registrasi pengoperasian (TNRP), mutasi kendaraan bermotor dan tilang sesuai dengan usulan target PNBP yang diusulkan secara bottom up dari Ditlantas Polda”[20]
Penjelasan tersebut didapat dari tabel daftar Kebijakan Yang Akan Ditempuh Untuk Mencapai Target PNBP 7 Kementerian/Lembaga (K/L) Terbesar Tahun 2017, dimana POLRI merupakan K/L dengan pemasukan PNBP terbesar ketiga.
Dengan demikian, apakah Kapolri Jenderal Tito Karnavian masih mau mengelak bahwa kenaikan tersebut bukan usulan dari kepolisian? Apabila benar demikian, justru Kepolisian sebagai K/L tidak menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan! Jika Presiden tidak mau tarif PNBP ini terlalu tinggi, mengapa 6 Desember 2016 lalu disahkan PP 60/2016?
Menurut UUD 1945, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, maka apabila memang Presiden secara serius tidak menyetujui hal ini, ubahlah PP tersebut! Bukan malah menyalahkan Kepolisian! Karena menetapkan Peraturan Pemerintah bukanlah kewenangan Kapolri, tetapi Presiden.
BAGIAN V
MENGENAI KERUKUNAN NASIONAL DAN KONFLIK HORISONTAL DI MASYARAKAT
Banyaknya kejadian beberapa bulan terakhit berbasis isu-isu primordial yang dapat mengganggu stabilitas kerukunan negara dan menimbulkan konflik horizontal, memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan untuk menangani hal tersebut.
Hal ini dikarenakan tanggung jawab membina persatuan dan kesatuan bangsa, kerukunan antarsuku, intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas keamanan lokal, regional, dan nasional; penanganan konflik, pelestarian Bhineka Tunggal Ika, pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila, merupakan Urusan Pemerintahan Umum yang menurut Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang pelaksanaannya di daerah dilimpahkan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, dan Camat, serta ditunjang dengan keberadaan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang pelaksanaannya juga dibiayai APBN[21].
Sayangnya, pemerintah bukannya mengoptimalkan kewenanangan yang ditopang dengan forum komunikasi tersebut, tetapi malah berpikiran membuat solusi Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional[22]. Rencana Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM RI, Wiranto ini menambah lengkap lelucon yang hadir di tengah-tengah masyarakat, setelah empat bagian di atas menyoal rencana pemerintah untuk mendongkrak pemasukan APBN, Menkopolhukam malah membuat rencana pengeluaran (budget spending) yang tidak perlu! Struktur baru berbentuk Badan yang tergolong kepada Lembaga Non Kementerian Negara tentu dalam logika sederhana akan berdampak pada menambahnya biaya birokrasi yang dibebankan dalam APBN. Padahal ruang fiskal APBN 2017 tidaklah leluasa, bahkan defisit.
Apakah pembuatan Dewan Kerukunan Nasional ini karena Urusan Pemerintahan Umum yang seharusnya dilaksanakan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan didekonsentrasikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Camat serta ditunjang oleh Forkopimda ini tidak berjalan sesuai dengan Undang-Undang? Ataukah karena Menkopolhukam Wiranto tidak mengerti bahwa ada Undang-Undang yang menyatakan hal tersebut? Ataukah memang suka belanja supaya terlihat kerja?
MENGIMBAU
Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo yang terhormat, kami meminta untuk berhenti secara serampangan [i] mengelola Indonesia dan senantiasa hadir sebagai solusi dalam berbagai permasalahan yang ada di negeri ini, bukan malah memperkeruh suasana.
Terkait surat terbuka ini, kami berharap Bapak Presiden bersedia untuk memberikan keterangan tanggapan, sebuah jaminan koreksi kebijakan atau tindakan, kepastian yang menyejukan bagi rakyat Indonesia, bahwa Presiden, sekaligus Kepala Negara, dan Kepala Pemerintahan Republik Indonesia masih dan tetap akan berpihak kepada rakyat dan kepentingan nasional dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambil.
Apabila dalam waktu 90 hari kerja tidak ada tanggapan serius, atau keterangan yang berarti, maka kami akan melakukan aksi mendesak DPR RI untuk melakukan mekanisme permintaan pertanggungjawaban Bapak selaku Presiden/Kepala Negara/Kepala Pemerintahan atas tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Semoga Bapak, dan beserta keluarga sehat selalu, doa kami menyertai supaya senantiasa diberikan petunjuk dan kekuatan oleh Tuhan.
Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater!
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Bandung, 10 Januari 2017
Muhammad Mahardhika Zein
Presiden Keluarga Mahasiswa ITB
Koordinator Isu Energi Aliansi BEM Seluruh Indonesia
Surat terbuka ini juga diinformasikan dalam akun twitter @KM_ITB pada Selasa (10/1) hari ini.
Artikel ini ditulis oleh: