Brussel, Aktual.com – Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte memperingatkan, China benar-benar menyerbu Taiwan, maka besar kemungkinan China meminta Rusia untuk membuka front kedua, yakni dengan menyerang negara yang tergabung dalam aliansi militer Amerika dan Eropa alias NATO.
Hal tersebut disampaikan Mark Rutte dalam sebuah wawancara dengan The New York Times (NYT) yang diterbitkan pada tanggal 5 Juli. Dilansir dari Kyiv Independent, kekhawatiran akan meningkatnya intervensi militer Tiongkok di Taiwan telah meningkat tajam sejak Rusia melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada bulan Februari 2022. Perang tersebut telah menjadi model bagaimana Taipei dan komunitas internasional dapat menanggapi jika Beijing memutuskan untuk menyerang.
”Ada kesadaran yang semakin meningkat, dan jangan kita naif tentang hal ini. Jika Xi Jinping menyerang Taiwan, pertama-tama ia akan memastikan bahwa ia menelepon mitranya yang sangat junior dalam semua ini, Vladimir Putin yang tinggal di Moskow, dan mengatakan kepadanya, ’Hei, saya akan melakukan ini, dan saya ingin Anda membuat mereka sibuk di Eropa dengan menyerang wilayah NATO,’” urai Rutte.
”Kemungkinan besar itulah yang akan terjadi. Dan untuk mencegahnya, kita perlu melakukan dua hal. Pertama, NATO secara kolektif begitu kuat, sehingga Rusia tidak akan pernah melakukan ini. Kedua, bekerja sama dengan Indo-Pasifik — sesuatu yang sangat dipromosikan oleh Presiden (Donald) Trump,” terang Rutte lagi.
Sebelumnya, menjelang pertemuan tingkat tinggi NATO di Den Haag, Belanda, pada 23 Juni 2025, Rutte juga mengeluarkan peringatan kepada para peserta pimpinan puncak negara-negara anggota NATO. Rutte saat itu mengatakan China dapat menggunakan Rusia untuk membagi perhatian dan sumber daya NATO di Eropa jika China bergerak maju terkait Taiwan
Ia beralasan, pembangunan militer besar-besaran China telah meningkatkan risiko konflik atas Taiwan, yang berpotensi menarik Rusia dan berdampak pada keamanan Eropa. Dilansir dari independent.co.uk,
Rutte mengatakan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru kini sangat dekat dengan NATO, karena mereka sangat khawatir tentang pembangunan militer China dan ancaman yang ditimbulkannya.
”Kami memiliki hubungan yang dekat ini. Justru karena negara-negara ini sangat, sangat khawatir tentang pembangunan militer besar-besaran di China,” ungkap Rutte.
Jika China bertindak atas Taiwan, menurut Rutte, ada kemungkinan nyata Beijing akan mendesak Rusia untuk menciptakan masalah di Eropa sehingga dapat memecah perhatian dan sumber daya NATO.
”Kita harus jelas tentang hal ini, dan itulah mengapa pengeluaran pertahanan tambahan itu sangat penting. Itulah sebabnya NATO tidak memiliki pilihan untuk keluar dari aliansi, kesepakatan sampingan, dll, karena kita semua harus ikut campur,” tegas Rutte.
Rutte juga mengatakan kemampuan militer China berkembang pesat terbukti dari kebangkitan global perusahaan-perusahaan pertahanannya dan bahwa negara itu tengah mempersiapkan diri untuk masa depan dominasi geopolitik.
”Kita tahu bahwa dari 10 perusahaan pertahanan terbesar, hanya beberapa tahun yang lalu, Anda tidak akan menemukan satu pun perusahaan China. Namun sekarang, Anda akan menemukan tiga hingga lima perusahaan pertahanan China dalam 10 besar perusahaan pertahanan terbesar di dunia,” bebernya,
”Ini menunjukkan kepada Anda bahwa pembangunan besar-besaran ini sedang berlangsung dan berdampak besar, [terutama] jika menyangkut produksi industri pertahanan China. Dan tentu saja, mereka tidak melakukan ini hanya karena mereka ingin mengadakan parade yang bagus di Beijing. Saya kira itu ada alasannya,” paparnya lagi.
Untuk diketahui, Beijing secara rutin mengirim berbagai jet tempur dan kapal perangnya mendekati Taiwan, dengan skala dan intensitas yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pejabat Taiwan telah memperingatkan bahwa China mungkin menggunakan latihan semacam itu sebagai kedok untuk serangan mendadak.
Setiap pecahnya permusuhan dapat dengan cepat menarik perhatian AS, yang mempertahankan aliansi utama di kawasan tersebut, memasok Taiwan dengan persenjataan canggih, dan secara hukum berkewajiban untuk menanggapi ancaman terhadap pulau itu.
Selama ini, China menganggap Taiwan sebagai provinsi yang memisahkan diri, dan Presiden China Xi Jinping berkali-kali mengatakan untuk menyatukan kembali pulau yang diperintah secara demokratis itu dengan daratan, dengan kekerasan jika perlu.
Dalam laporan Penilaian Ancaman Seluruh Dunia bulan lalu, Badan Intelijen Pertahanan AS mengatakan China dapat merebut pulau-pulau kecil di luar Taiwan sebagai taktik untuk mengintimidasi pemerintah di Taipei. Laporan tersebut menyatakan bahwa merebut dan mencoba mencaplok pulau-pulau ini merupakan salah satu dari sejumlah opsi militer yang tersedia bagi Beijing.
(Indra Bonaparte)

















