Jakarta, Aktual.com – Pemikiran seseorang dipengaruhi beberapa aspek. Yaitu tingkat pendidikan, media, diskusi praktis, struktur kesempatan politik, basis ekonomi, dan lingkungan domestik dan internasional.
Paparan itu disampaikan cendekiawan Yudi Latief saat memberi kuliah umum bertajuk ‘Genealogi Pemikiran Pendiri Bangsa’ di Megawati Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (27/11) pagi tadi.
Menurut dia, pemikiran para pendiri bangsa juga tidak lepas dari pengaruh aspek-aspek itu. Yudi memulai penjelasannya dengan pengaruh dari aspek pertama: Tingkat Pendidikan.
Tutur dia, sebelum tahun 1850, pendidikan di Indonesia dipenuhi oleh otoritas–otoritas institusi keagamaan. Artinya, saat itu agama yang menentukan isi dan tujuan pendidikan.
Bersamaan dengan itu, penjajahan kolonial Eropa yang memerintah di Indonesia ternyata juga menaruh perhatian pada pendidikan. Namun, motifnya berbeda. Yakni untuk mengontrol ekonomi Indonesia.
Pemerintah kolonial saat itu butuh banyak tenaga–tenaga ahli. Tapi jika datangkan tenaga ahli dari luar negeri, stoknya terbatas dan mahal. Kondisi itulah yang membuat mereka perlu membuat institusi pendidikan.
Untuk memulainya, kata Yudi, pemerintah kolonial tentu butuh guru-guru untuk mendidik. Mereka pun kemudian mendirikan sekolah guru pertama di Surakarta tahun 1852.
Saat itu, ujar dia, anak-anak dari masyarakat ‘kalangan biasa’ diperbolehkan masuk. Alasannya, sekolah guru itu ternyata tidak begitu diminati anak-anak dari kalangan priyayi.
Kondisi ini, menurut Yudi, justru menjadi awal dari sebuah masalah tapi juga sekaligus gerakan kemajuan. Mengapa? Ini penjelasan Yudi.
Kata dia, minimnya kalangan anak-anak priyayi yang masuk sekolah guru di akhir abad ke-19 itu, membuat status kehormatan profesi seorang guru dipandang sebelah mata. Baik oleh kalangan pribumi maupun kolonial.
Dapat perlakuan seperti itu, para lulusan sekolah guru pun membutuhkan status kehormatan yang baru. Yang bukan lagi berasal dari soal keturunan. Tetapi, atas dasar cita–cita kemajuan.
Kaum guru pun kemudian mengkoordinasikan diri agar diakui. Yakni dengan membuat sebuah asosiasi bernama ‘Mufakat Guru’. Asosiasi ini berdiri di setiap daerah yang ada sekolah guru. Tujuannya, agar akses sekolah semakin dan beasiswa semakin dibuka bagi masyarakat luas.
“Semua ini terjadi sebelum adanya Budi Utomo,” ujar dia.
Di sinilah, menurut Yudi, mulai muncul sebuah generasi pertama organisasi yang bertemakan kemajuan di Indonesia. Meskipun tujuan organisasi guru itu baru sebatas kepentingan menunjukkan eksistensi dan agar orang terdidik semakin banyak saja.
Sampai kemudian di awal abad 20, pemerintah kolonial mulai membuat sekolah-sekolah lain selain sekolah guru. Seperti STOVIA (sekolah dokter) , KOSVIA (sekolah untuk anak camat dan lain – lain), HBS (sekolah menengah Belanda yang elit).
“Dari sekolah-sekolah itu lahir para pemikir Indonesia awal abad 20. Seperti Dr. Cipto Mangunkusumo, HOS Cokroaminoto dan Agus Salim,” kata Yudi.
Lanjut dia, jika di akhir abad 19 sudah muncul asosiasi guru, di awal abad 20 muncul asosiasi yang dipimpin intelektual lulusan STOVIA. Seperti Sarekat Priyai, Sarekat Dagang Islam, Budi Utomo dan lain – lain.
Sampai pada tahun 1920-an, perguruan tinggi atau universitas mulai didirikan di Indonesia. Yang kemudian melahirkan lebih banyak lagi kalangan intelektual. Seperti Soekarno dan Mohamad Hatta. “Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi yang pertama berdiri,” ucap dia.
Yudi menyebut kemunculan para intelektual dari kalangan perguruan tinggi ini sebagai pemikir generasi kedua. Bibit-bibit para pendiri bangsa pun mulai muncul. (Baca:Yudi Latief Bedah ‘Genealogi Pemikiran Pendiri Bangsa’ di Megawati Institute)
Artikel ini ditulis oleh: