Jakarta, Aktual.com – Wilayah Indonesia Timur memang terkenal kaya dengan sumber energi, baik itu minyak, gas, mineral, batu bara dan lainnya. Namun sayangnya perekonomian di sana belum terangkat dengan kuat.
Sumber penunjang perekonomian seperti pengembangan pupuk petrokimia masih mengalami high cost, baik dar harga pasokan gasnya maupun pajaknya, mestinya ada kebijakan pemerintah yang lebih pro pengembangan perekonomian Indonesia Timur.
“Saat ini ada amanat presiden soal harga gas yang harus turun. Karena memang selama ini, kita akui harga gas terlalu tinggi itu. Jika begitu, industri yang berhubungan dengan itu (gas) sulit untuk berkembang. Seperti industri petrokimia,” jelas Anggota Anggota Komisi VII DPR asal Fraksi Golkar, Dito Ganinduto di Jakarta, Sabtu (15/10).
Jika pemerintah berkomitmen seperti itu, mestinya diatur caranya dari hulu sampai hilir agar harga gas bisa rendah terutama untuk petrokimia.
“Saya kasih tahu soal petrokimia, dari tahun 2004 lalu, pemerintah mewacanakan ingin membangun di Indonesia Timur. Tapi kenyataannya sampai saat ini hanya ada satu yaitu lewat BP Tangguh (pasokan gasnya).”
Itu pun, kata dia, BP Tangguh hanya mengalokasikan natural gasnya sebanyak 200 MMscfd untuk petrokimia yaitu ke PT Pupuk Indonesia (Persero). “Tapi masalahnya lagi, harga gasnya masih mahal US$ 6. Padahal di seluruh dunia, harga gas untuk petrokimia itu antara US$ 2-3.”
Menurutnya, kalau pemerintah mau membangun petrokimia di Papua, terutama Papua Barat, Presiden bisa mengeluarkan Perpres khusus di Papua Barat. Dan diatur semua di situ, termasuk soal tarif goverment tax, yang US$ 1 atau bahkan 0 dolar.
“Karena begitu government tax-nya dikurangi dan harga gasnya diturunkan sekitar US$ 3, maka akan banya masuk. Banyak yang sudah siap dari dulu. Tapi masalahnya, kebijakan sudah bertahun-tahun dan tak kunjung berjalan,” ujar Dito.
Menurut dia, kalau kebijakan ini dijalankan. Maka perkembangan perekonomian di Indonesia Timur, seperti Papua akan lebih meningkat. Karena sudah tidak ada high cost economy.
“Jadi dalam jangka pendek sekalipun government tax berkurang, tapi jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan pajaknya pun otomatis akan lebih tinggi lagi. Jadi tidak hanya berpatokan pada target penerimaan negara di APBN,” jelas dia.
Selama ini, kata dia, Indonesia sudah kalah jauh dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, baik dari sisi LNG maupun refinary.
“Di Malaysia sektor energinya berkembang pesat. Dan saat ini kita sudah kalah. Selama ini di kilang kita kalah, produksi kita kalah, dan jangan sampai soal petrokimia juga kita kalah. Makanya ini tugas berat dari Pak Jonan (Menteri ESDM) dan Par Arcandra (Wamrn ESDM),” pungkas dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby