Kemudian, kebijakan penerapan B20 atau pencampuran 20% minyak sawit ke solar tidak berdampak besar. Bahkan, biang kerok defisit dagang saat ini paling besar disumbamg sektor migas. Dimana impor migas per November masih bengkak dan menyumbang defisit US$ 1,5 miliar. Sepanjang Januari-November, tercatat defisit sudah mencapai US$ 12,15 miliar atau setara Rp 176 triliun.
“Untuk mengurangi neraca perdagangan makanya ada B20, itu gak jalan, angka itu tidak pengaruh B20, kalau dikasih B20 rusak mesin kita, itu memang untuk bantu (harga) sawit yang jatuh,” kata dia.
Menurut dia, migas yang selalu menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan dikarenakan pada saat ini masih kurang eksplorasi. Sehingga pemerintah selalu melakukan impor BBM.
“Defisit neraca perdagangan itu berkaitan dengan inpor BBM, kita konsumsi kurang 1,6 juta barel, produksi kita 750 ribu barel, orde baru kita kebalik makanya jadi anggota opec, sekarang kebalik, ini sesuatu yang salah, menurut ahli minyak anda masih banyak (sumber minyak), berarti ada kebijakan eksplorasi yang tidak menenai,” kata dia.
Selain itu, tindakan koruptif dari pejabat. Hal ini tentunya, lanjut dia, menghambat kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah. “Karena penyakit korupsi, menegakan pemerataan tidak bisa, melakukan perbaikan ekspor tidak bisa, impor ditekan tidak bisa,” kata Fuad.
Laporan : Fadlan Syiam Butho
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid