Pada awal era reformasi di akhir 90-an, sentimen ini kerap disematkan kepada Partai Golkar mengingat dominasinya pada era Orde Baru. Hal ini pun memunculkan wacana untuk membubarkan partai tersebut pada saat lahirnya reformasi.
“Ini merupakan krisis politik pertama Partai Golkar,” ujar Jafar.
Wacana pembubaran ini sendiri secara perlahan meredup dan Partai Golkar bahkan berhasil menjadi pemenang pada Pemilu 2004.
Jafar menyatakan jika kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto merupakan krisis politik kedua bagi Golkar. Pada akhirnya, krisis Golkar kedua ini, menjadi pembenaran sejarah, bahwa Golkar memang partai korup.
“Partai yang hanya sekedar alat bagi penguasa atau perkumpulan para politisi yang tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi dengan jalan menjarah kekayaan atau keuangan negara,” jelasnya.
Oleh karenanya, Jafar menilai jika semua kader Golkar harus mampu memilih sosok yang bersih untuk menjabat sebagai Ketua Umum, bukan hanya sekedar memiliki sumber modal yang kuat saja.
“Tetapi, dibutuhkan seorang tokoh yang memiliki visi, berintegritas, bersih, dan berakar ke bawah. Sehingga ia mampu membangun citra yang positif, sebagai citra partai politik pembaharu, yang mampu membersihkan partai dari lingkaran korupsi,” pungkasnya.
(Reporter: Teuku Wildan)
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Eka