Achmad Yakub, dari Bina Desa memaparkan, secara peraturan pemerintah pusat hingga kabupaten/kota mempunyai kewajiban memenuhi ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan.

“Artinya tak mungkin menyerahkan kepentingan pangan sebagai keamanan nasional itu ke mekanisme perjanjian WTO yang dikenal sangat pro pasar, merugikan petani dan ekonomi secara mendasar,” tegas Achmad.

Untuk itu, Indonesia for Global Justice (IGJ), Bina Desa, dan SPI juga meminta agar Pemerintah Indonesia tidak membuat komitmen yang merugikan Indonesia dalam putaran Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-11 yang akan dilaksanakan di Argentina pada 10-15 Desember 2017 nanti.

“Kepentingan petani kecil Indonesia harus diprioritaskan ketimbang isu-isu baru yang akan digagas oleh negara maju seperti e-commerce dan  investment facilitation. Posisi Indonesia pada perundingan isu pertanian harus berpihak pada petani kecil Indonesia, kalau tidak tercapai maka komitmen Indonesia di WTO harus segera dipertanyakan,” imbuh Direktur Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti.

Dalam KTM Ke-11 WTO akan menjadi putaran perundingan yang paling penting, kata dia, hal ini karena salah satunya adalah masa akhir untuk memutuskan solusi permanen dari Proposal Cadangan Pangan Publik untuk tujuan ketahanan pangan yang mandek pada saat pembahasan di KTM ke-9 WTO di Bali pada 2013 yang lalu.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka