Perseteruan antar institusi negara (KPK dan Polri) kembali menarik perhatian kita.

Sekilas tampak, penunjukkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) baru oleh Presiden Joko Widodo menuai protes dari sejumlah kalangan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantas menetapkan Kapolri yang baru ditunjuk tersebut (BG) sebagai tersangka. Hanya berselang dua hari, Bareskrim Polri menangkap dan menahan Wakil Ketua KPK (BW). Media heboh. Publik geger. Cerita Cicak vs Buaya seolah berulang. Kembali muncul seruan “Save KPK” (Selamatkan KPK) dari berbagai kalangan.

Dalam pandangan PRD, hal terpenting untuk dilihat dalam situasi ini adalah persoalan korupsi di Indonesia dalam kaitan dengan sistem ekonomi-politik yang berlaku sekarang. Korupsi tumbuh subur karena terdapat sistem yang memberi peluang, yakni: 1) liberalisasi politik dan pemerintahan sampai ke daerah-daerah, yang memberi peluang besar bagi korupsi di segala lini dan segala tingkatan; 2) liberalisasi ekonomi yang memberi keleluasaan modal mengeksploitasi sembari menyogok aparatur pemerintahan demi kepentingan eksploitasi tersebut; 3) serta liberalisasi budaya yang menyemai watak egosentris dan konsumerisme baik di tingkatan pejabat maupun masyarakat umum.

Pemberantasan korupsi adalah penting dan mendesak. Tapi alangkah baiknya bila lembaga negara yang dibentuk untuk tugas itu, baik KPK maupun Kejaksaan, memprioritaskan kasus-kasus korupsi besar yang berhubungan langsung dengan persoalan kedaulatan bangsa, sebagaimana garis politik yang dijanjikan pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla (Trisakti).

Ketua KPK sendiri pernah mengatakan bahwa sekitar 60% perusahaan pertambangan tidak membayar pajak atau royalti kepada pemerintah. Terdapat pula 14 perusahaan migas asing yang tidak pernah membayar pajak dan royalti. Serta pada tanggal 27 Februari 2013, KPK mengidentifikasi bahwa hanya 11% dari 150 juta hektar pengelolaan hutan yang memiliki izin sesuai dengan peruntukannya.

Sedikit contoh di atas harusnya sudah menjadi gambaran, bagaimana kerugian negara akibat praktik korupsi yang berkait-kelindan dengan eksploitasi atas sumber daya bangsa. Pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa penanganan kasus-kasus terkait eksploitasi modal yang sebagian besar merupakan modal asing itu sedemikian lamban?

Alangkah baiknya bila perhatian terhadap korupsi tidak hanya difokuskan pada kasus-kasus yang terkait kepentingan politik jangka pendek, sehingga wilayah pemberantasan korupsi terkesan sedemikian sempit, bahkan cenderung dinilai semata sebagai instrumen politik pihak tertentu.

Pada momentum ini PRD juga menyampaikan kritik atas ketidakberdayaan Presiden Joko Widodo dalam menangani persoalan. Tekanan-tekanan dari lingkaran partai maupun pendukungnya dalam pilpres telah memposisikan dirinya tidak mampu memutuskan apa-apa atas dua lembaga negara yang berada langsung di bawah otoritasnya tersebut.

Sesungguhnya Presiden dapat mengambil tindakan tegas, baik terhadap Polri maupun KPK, apabila mereka bergerak melenceng dari koridor misi pemerintah untuk menciptakan Indonesia baru yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya, (TRISAKTI) termasuk di dalamnya Indonesia yang bersih dari korupsi.

Semangat Trisakti inilah yang harus terus menerus menjadi penekanan dari pemerintahan Jokowi-JK dengan disertai implementasi program-program yang berpihak pada rakyat di semua sektor. Semangat dan konsepsi Trisakti inilah yang dapat menjadi penerang, penunjuk jalan, bagi bangsa Indonesia untuk keluar cengkraman imperialisme. Sungguh sangat disayangkan apabila kekuasaan negara dan pemerintahan yang ada di tangan Jokowi-JK sekarang tidak digunakan untuk merebut kembali kedaulatan nasional yang sudah diserahkan kepada modal asing oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Dalam situasi obyektif menghadapi cengkraman imperialisme ini, dalam pandangan PRD, persatuan nasional mutlak dibutuhkan. Oleh karena itu, setiap konflik yang berdasarkan pada hal-hal yang tidak prinsipil, atau pada kepentingan-kepentingan yang sempit, pemikiran-pemikiran yang sektaris, sudah sewajarnya untuk dihindari. Bangsa Indonesia akan terus berusaha dipecah belah oleh kekuatan imperialis agar mudah dieksploitasi, dan kita pun larut dalam kebodohan sendiri apabila turut memecah belah diri sebagai satu kekuatan nasional.

Mari, Perkuat Persatuan Nasional Menghadapi Imperialisme! Hentikan Neoliberalisme! Rebut (kembali) Kedaulatan Nasional!

Jakarta, 24 Januari 2015

Oleh Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD), Agus Priyono
                                               

Artikel ini ditulis oleh: