Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso memberikan keterangan terkait aksi teror penyerangan dan bom Thamrin di Kantor BIN Jakarta, Jumat (15/1). Dalam keterangannya, BIN telah memberikan sinyal tentang adanya potensi serangan teroris sejak November 2015, serta menghimbau masyarakat untuk tetap waspada dan tidak perlu takut dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/kye/16

Jakarta, Aktual.com — Kepala Badan Intelejen Negara Sutiyoso menyebutkan, bahwa dalam penyelamatan 10 orang warga negara Indonesia yang disandera oleh kelompok garis keras di Filipina mengutamakan keselamatan para sandera ketimbang lewat jalur keras.

“Dalam masalah WNI kita disandera di Filipina itu, kita tetap akan melakukan soft power dengan negosiasi ini lebih kuat dan menguntungkan, saya lihat karena minim korban jiwa dan biaya,” kata dia di Jakarta, Sabtu (2/4).

Pemerintah sendiri, kata dia bertekad tidak akan tunduk terhadap permintaan para perompak yang diduga adalah kelompok Abu Sayyaf.

“Itu prinsip kita, kita akan upayakan pembebasan tanpa syarat,” ujar Sutiyoso.

Indonesia juga, lanjut dia, telah mengirimkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan maksud untuk merundingkan peristiwa ini dengan pemerintah Filipina, terkait opsi yang akan dipilih dan cara yang akan diambil.

“Kita kan perlu tahu itu, jika misalnya akan dilakukan dengan aksi militer, kita minta dilibatkan di dalamnya dan mungkin meminta izin,” katanya.

Sutiyoso mengaku, saat ini pemerintah Indonesia menunggu koordinasi antara pemerintah Filipina, terkait denganpenggunaan operasi militer untuk membebaskan sandera.

Sebelumnya, berdasarkan laporan yang beredar, Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso atau setara Rp14,2 miliar, dengan tenggat pada 31 Maret 2016 untuk membebaskan 10 WNI yang disandera dalam Kapal Anand 12. Namun diperpanjang hingga enam hari ke depan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara