Jakarta, Aktual.co — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan, pihaknya tidak ingin terlalu membuka diri untuk penyelidikan Kasus Penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Hal tersebut dilakukan, menurut Bambang, agar target yang akan diperiksa oleh KPK tidak akan terbuka dan menutup-nutupi kasus tersebut.
“Kalau dibuka nanti malah mendistribusikan informasi kepada mereka dan mereka tutup ini semua, kan ribet, tidak ada informasi yang kita dapatkan,” kata Bambang kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (22/12).
Diketahui, dalam mendalami kasus SKL BLBI ini, KPK telah memanggil sejumlah saksi untuk dimintai keterangan, diantaranya Mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan yang terbaru Mantan Menteri Perekonomian, Rizal Ramli.
Untuk rencana kedepan, KPK mengisyaratkan akan memanggil sejumlah obligor yang mendapatkan pinjaman dari BI pada tahun 1998 lalu. Menurut Bambang keterangan mereka dipelukan untuk menelisik kasus tersebut lebih dalam lagi.
“Sedang kita selidiki soal SKL ini, jadi masih terbuka peluang yang lain (untuk dipanggil), tetapi kita fokus dengan yang sedang kita kaji dan memang kita enggak boleh terlalu terbuka,” ujar dia.
Diketahui, surat keterangan lunas diterbitkan oleh Presiden Megawati dalam masa jabatannya, SKL tersebut dikeluarkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002.
Pada kasus BLBI, surat keterangan lunas tersebut menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/SP3) terhadap sejumlah pengutang. Salah satunya adalah pengusaha Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, yang dihentikan penyidikannya pada Juli 2004.
Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas lainnya, seperti The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus “release and discharge” dari pemerintah
Dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Sedangkan dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu