Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mencurigai adanya permainan di tingkat hilir pada saat melakukan verifikator. “Kalau mislanya antara perusahaan surveyor yang diterbitkan dengan pelabuhan muat dan bongkar terlalu jauh perbedaannya, ini ada apa?” kata Meidy.

Oleh karena itu, ia meminta supaya pemerintah melakukan investigasi untuk mengetahui permasalahan ini. Sehingga bisa diketahui apakah kesalahan selisih hitungan ini ada di pihak hulu atau di hilir. “Karena jika kami membayar royalti berdasar COA muat 1,8% tapi jika di COA bangkar terjadi penurunan kadar artinya perbedaan 0.1%-0.5% sudah sangat tidak worth it,” jelasnya.

Seperti yang diketahui dalam Permen ESDM nomor 11 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara, apabila terjadi perbedaan kadar bisa melakukan umpire untuk menunjuk pihak ketiga atau surveyor pihak ketiga. “Sayangnya dalam praktiknya banyak perusahaan nikel juga mengajukan umpire tapi perusahaan tersebut di blacklist dan tidak bisa melaksanakan penjualan ke smelter,” tandas Meidy.

Ketika dikonfirmasi atas permasalahan ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Sugeng Mujianto irit bicara. Ia hanya bilang, bahwa sampling menjadi kunci dalam proses hitung kadar nikel.

“Dalam satu volume yang besar dan heterogen maka sampling menjadi salah satu kunci utama,” jelas dia, Selasa (12/10/2021).

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin