Masalahnya kini dan ke depan : adakah segenap spirit /semangat segenap peristiwa bersejarah itu menjadi kenyataan, ataukah ini hanya sekadar Komedi Omong Kosong ? Sejarah kedepan yang akan mencatat nya kiprah dari Presiden Prabowo Subiyanto tersebut.

Setelah Indonesia merdeka, sejak tahun 1945 hingga saat ini tahun 2024, yang telah dilewati dengan beragam masalah, naik turunnya pemerintahan dari Orde Lama, dengan politik terpimpinnya, Orde Baru dengan pembangunannya, serta jaman reformasi yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari nepotisme, yang justru lebih parah saat Orde Baru berkuasa.

Nepotisme, korupsi telah masif terjadi, serta penegakan hukum yang sangat buruk, dimana orientasi kepentingan dan keuntungan telah menjadi panglima. Ini yang harus menjadi refleksi dan membentuk frasa dan semangat baru yang menggelora pada setiap generasi muda dan seluruh element bangsa.

Bahwa di era ini, mustahil Indonesia akan diserang secara militer langsung oleh negara negara luar, dengan pertimbangan Sistem pertahanan yang dianut dan sudah menjadi doktrin pertahanan adalah pertahanan rakyat semesta (Hankamrata). Kedua Indonesia mempunyai tentara dan rakyat yang militan dan mempunyai sejarah panjang dalam peperangan revolusi bersenjata.

Ketiga secara geografis dan demografis begitu luasnya wilayah dan jumlah penduduk yang begitu besar, tidak ada satupun negara lain yang pernah berfikir untuk melakukan infasi militer langsung, yang ada adalah melalui perang proxi, melalui sistem divide at impera (pemecah belah) melalui invicible hand (menggunakan tokoh tak terlihat) untuk mengacaukan situasi agar Indonesia sulit menjadi negara maju.

Dengan cara mengintervensi sistem pendidikannya, mengubah sejarah bangsa nya melalui tulisan tulisan dan memalsukan situs palsu, makam palsu, mempengaruhi generasi mudanya dengan doktrin ideologi ala Barat (liberalisme dan kapitalisme) melalui media, menghancurkan mental para penegak hukumnya agar penegakan hukum hancur dengan cara diintervensi dengan kekuatan politik dengan demikian kestabilan ekonomi akan terganggu.

Dengan adanya regulasi yang tumpang tindih, dan ketidak pastian dalam penindakan hukum hingga para investor pun tidak akan mau masuk dan timbulnya kesenjangan antara miskin dan kaya semakin dalam yang bisa memicu kestabilan keamanan.

Dimana keadilan hanya milik para pemodal besar, pisau keadilan hanya berlaku tajam di bawah, tumpul diatas. Itu sesungguhnya yang harus direformasi total sebagai perwujudan dari Perang Fisabilillah (jihad) untuk melawan ketidakadilan pada masa damai dan kondisi negara sudah merdeka, adalah semangat jihad untuk melakukan perang fisabilillah tetap sama dengan saat 10 Nopember 1945.

Namun kontek dan masalah obyek dan subyek yang dihadapi telah berubah, dimana tidak lagi melawan tentara sekutu inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies. Akan tetapi melawan ketidak Adilan dari sesama anak bangsa sendiri yang lebih berkiblat pada aliran liberalisme dan kapitalisme dalam penegakan hukum.

Rasa Nasionalisme dan cinta tanah air telah luntur, Karakter berbudi luhur dengan mengutamakan tradisi sendiri sebagai bangsa telah hilang, yang ada hanyalah sebuah bangsa yang dipacu dan dididik secara cerdas melalui sistem pendidikan, tapi melupakan hal yang sangat krusial pembangunan jiwa sebagai bangsa.

Maka harus dilakukan Nation Character Building (membangun karakter bangsa) melalui pendidikan formal yang dimulai sejak usia dini, yang ditunjang dengan suri tauladan dari orang tua, dan para pemimpin nya pada setiap tingkatan, Ing Ngarso Sung Tulodo, Tut Wuri Handayani.

Budaya guyub dan kegotong Royongan kita telah lama hilang , yang ada adalah sifat individualisme , ala sistem kapitalis barat . Hingga kita kadang melupakan lingkungan , melupakan sesama dan apalagi alam semesta , jauh dari pemikiran kita. Itu yang perlu dilakukan Jihad Fisabilillah .

Karena nasib sebuah bangsa tidak akan berubah, apabila anak bangsa itu sendiri tidak mau merubahnya.

Penulis Oleh : Agus Widjajanto, praktisi hukum dan pemerhati sosial budaya, hukum politik dan sejarah. Tinggal di Jakarta.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano