Ahok mendatangi Bareskrim Polri untuk memberikan keterangan dan klarifikasi soal kasus dugaan penistaan agama kepada penyidik.

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai kebijakan demi kebijakan Pemerintah Propinsi DKI dibawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memang pantas dipertanyakan.

Maksudnya, dipertanyakan karena kebijakan demi kebijakan yang diambil Pemprop DKI tidak dilakukan secara transparan. Terutama dalam membangun DKI yang ternyata banyak kegiatan yang tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Selama pemerintahan Ahok, memang proses kita bernegara itu menemukan sejumlah kebijakan-kebijakan yang pantas untuk dipertanyakan. Misalnya soal pembangunan rusun dan bantuan-bantuan yang diberikan pihak swasta,” terang Said saat dihubungi Aktual.com, Selasa (25/10).

Ia menekankan demikian sejalan dengan cuitan Indra Jaya Piliang dalam akun twitternya @IndraJPiliang yang membongkar kerja buzzer Ahok yang pembiayaannya ditopang pengembang reklamasi Teluk Jakarta.

Indra juga membeberkan kerja pencitraan Ahok dari pengembang reklamasi melalui program pembangunan rumah susun, pengumpulan sejuta KTP di Mall, pembiayaan pemberitaan di media massa hingga bantuan komputer KPUD DKI.

Menurut Said, dalam menjalankan pemerintah seorang kepala daerah sudah seharusnya bekerjasama dengan DPRD. Bukan kemudian mengeluarkan kebijakan sendiri dan mengesampingkan keberadaan legislatif yang juga mewakili warga Jakarta.

Kebijakan kontribusi dari pengembang sangat jelas tidak masuk dalam APBD DKI. Dengan kata lain, Ahok mengeluarkan nomenklatur baru bernama dana kontribusi. Padahal, untuk mengetahui kepala daerah bekerja dengan atau kurang baik ukurannya ada pada APBD.

“Kalau dipusat ada APBN, kalau di daerah itu APBD. Sekarang kalau ada dana yang tidak masuk APBD dan dikeluarkan kepala daerah itu artinya apa?,” jelas Said.

Pembiayaan sejumlah pembangunan dari pihak swasta di DKI Jakarta menjadi pertanyaan besar. Sekali lagi karena menurutnya bukan dari APBD. Jika misalnya diketok melalui Peraturan Gubernur atau peraturan lainnya, maka kebijakan itu pantas direview kembali.

“Tidak tepat dengan dana yang tidak ditetapkan oleh perwakilan rakyat. Kan harus diketahui dan diketok palu bersama DPRD. Semuanya agar rakyat yang diwakili oleh anggota DPRD mengetahui jelas sumber dana dan alokasinya,” kata dia.

“Kalau misalnya negara dikelola dengan cara begitu, satu tentu tidak berdasarkan hukum, kedua itu rawan terjadinya manipulasi dan penyimpangan-penyimpangan. Itu yang sebetulnya kita sayangkan,” lanjut Said.

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby