Semarang, Aktual.com – Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menyebutkan, ada sembilan kategori kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan terhadap Kekerasan Seksual.
“Kami mengerucutkan dalam sembilan jenis (kategori, red.) sebagai perluasan bentuk kekerasan seksual dalam RUU PTKS,” Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni di Semarang, Sabtu (17/12).
Perluasan bentuk kekerasan seksual itu, kata dia, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Budi menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual terus terjadi kian hari dan tentunya tidak bisa dibiarkan, apalagi tidak semata diakibatkan dorongan seksual, tetapi relasi kuasa yang tidak imbang.
“Akibatnya, korban (kekerasan seksual, red.) belum bisa mendapatkan posisi yang memadai dalam perlindungan, informasi, dan keadilan, serta jaminan tidak terjadi keberulangan.”
Dia mencontohkan temuan banyaknya kalangan ibu rumah tangga yang terpapar virus HIV-AIDS, padahal sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah dan hanya beraktivitas seksual dengan suami.
“Artinya, ada ketidakterusterangan atau suami tidak menyatakan secara terbuka kepada istrinya bahwa pernah melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya dan tertular HIV-AIDS.”
Di dalam RUU PTKS, kata dia, kasus semacam itu termasuk dalam kekerasan seksual, yakni pada kategori eksploitasi seksual karena semestinya ada keterbukaan dalam relasi rumah tangga.
“Saat ini, RUU PTKS sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017,” pungkas Budi.
Sementara itu, Direktur Rutgers WPF Indonesia Monique Soesman yang juga menjadi pembicara seminar itu mengakui kekerasan seksual banyak juga dialami remaja, khususnya perempuan saat masa pacaran.
Rutgers WPF Indonesia adalah organisasi yang bekerja di bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, dan penanggulangan kekerasan.
“Remaja perempuan dibujuk (berhubungan seksual, red.), diancam, dan kemudian menyerah. Hasilnya, kehamilan yang tidak diinginkan. Makanya, perlu pendidikan seksualitas komprehensif.”
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Wisnu