Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dapil DKI Jakarta AM Fatwa (kiri) bersama Ketua Bidang Komunikasi Publik Masyarakat Transportasi Indonesia Milatia Kusuma (tengah) dan Pengamat Politik UI Muhammad Nasih (kanan) menyampaikan tanggapan dalam Dialog Kenegaraan di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (4/11) Diskusi tersebut membahas hak bertanya DPD tentang urgensi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tertanggal 6 Oktober 2015 tentang kereta cepat Jakarta-Bandung.

Jakarta, Aktual.com – Senator DPD RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta, AM Fatwa menyayangkan langkah pemerintah provinsi DKI yang mengedepankan penderitaan rakyat dalam rangka pembangunan di Ibu Kota.

Seperti pemukiman padat dan kumuh yang berada tepat di sekitar apartemen mewah seperti di Luar Batang, warga Jatinegara yang masih memanfaatkan keruhnya air kali Ciliwung untuk mandi dan mencuci. Bahkan nisan mewah kuburan untuk dijadikan dinding rumah seperti di Cipinang Besar.

“Ironi ini menunjukkan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam mukadimah UUD 1945 yang berbunyi, ‘Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’, masih jauh panggang dari api, meskipun usia kemerdekaan kita sudah mencapai 71 tahun,” kata Fatwa dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin (12/9).

“Jakarta justru menjadi kota yang tidak bersahabat bagi kalangan ekonomi lemah. Mereka digusur dan diusir dari rumah yang mereka bangun dengan jerih payah dari hasil tabungan puluhan tahun, lantaran tidak punya modal untuk mengubah status lahan yang mereka diami, dari ilegal menjadi legal,” tambah dia.

Sementara itu, sambung Fatwa, kalangan mapan yang mampu mengubah status lahannya dari ilegal menjadi legal justru mendapatkan kesempatan layak dari pemangku kepentingan di DKI.

Padahal, pembangunan pemukiman mewah tak ayal menjadi faktor penyebab banjir di Jakarta, karena hutan bakau yang sejatinya diperuntukkan sebagai daerah resapan dan ruang terbuka hijau, diubah menjadi pemukiman elit, lengkap dengan beragam fasilitas mewah.

“Di sisi lain Jakarta yang memiliki sejarah sebagai kota pelabuhan saat masih bernama Sunda Kelapa, di masa depan penduduknya tidak bisa melihat laut karena terhalang bangunan-bangunan tinggi di pulau reklamasi. Jakarta yang punya riwayat sebagai kota maritim, penduduknya tidak lagi bisa berprofesi sebagai nelayan,” tandasnya.

Novrizal Sikumbang

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang
Arbie Marwan