Jakarta, Aktual.com — Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Ariyono menyatakan bahwa pihaknya berupaya agar sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menimpa 11 perusahaan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi III  tidak harus melalui pengadilan pajak. Sebab, penyelesaian sengketa pajak di pengadilan akan memakan waktu, karenanya akan membebani perusahaan lantaran akan menyita perhatian.  Sengketa tersebut saat ini masih dibicarakan dengan pihak Kementerian Keuangan.

“Kita tidak bisa langsung seperti ini (ke pengadilan pajak-red.), kita harus bicara baik-baik. Karena sebagian besar PKP2B Generasi III itu pergi ke pengadilan pajak. Coba kita cari solusi bagaimana supaya tidak usah pakai pengadilan pajak,” ujar Bambang Gatot kepada wartawan, Rabu (1/6/).

Bambang mengakui sampai saat ini belum ada kata sepakat antara pihak  Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan bagaimana bentuk penyelesaian yang paling dapat diterima oleh kedua belah pihak.

“Belum disepakati (bentuk solusinya-red.) Ini yang masih kita bicarakan”, jelas dia.

Sebagaimana diketahui, untuk kontrak PKP2B Generasi III berlaku azas Lex Specialis. Inkonsistensi restitusi PPN yang dialami 11 perusahaan PKP2B Generasi III akan menyebabkan ketidakpastian berusaha di Indonesia.

“Kontraknya kan bunyinya seperti itu (Lex Specialis-red). Aturan undang-undangnya seperti itu,” jelasnya.

Untuk diketahui, sengketa ini berawal dari terbitnya Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 yang menyatakan batu bara tidak termasuk Barang Kena Pajak (BKP). Padahal dalam kontraK PKP2B Generasi III menyatakan batu bara termasuk kategori BKP.

Semenjak rezim pajak itu muncul ketidakpastian bagi pelaku usaha. Hal ini lantaran tidak semua PKP2B Generasi III yang bisa mendapatkan restitusi (pengembalian) pajak. Dari 55 perusahaan PKP2B Generasi III, 34 perusahaan diantaranya sudah berproduksi.

Dari 34 perusahaan itu, 23 diantaranya telah memperoleh restitusi, sementara 11 perusahaan lainnya belum mendapatkan restitusi PPN. Pasalnya kantor pajak memiliki persepsi yang berbeda mengenai PPN ini.

Inkonsistensi itu menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) laporan tertanggal 25 Mei 2015 yang menyatakan Direktorat Jenderal Pajak tidak konsisten terhadap pengenaan PPN bagi PKP2B Generasi ketiga.

Hasil pemeriksaan BPK menyatakan Direktorat Jenderal Pajak ada yang mengenakan batu bara sebagai BKP dan ada juga yang non BKP. Pemeriksaan itu dilakukan terhadap beberapa sampel berkas yang diselesaikan pada 2014 silam.

BPK juga merekomendasikan kepada Menteri keuangan selaku Wakil Pemerintah agar membuat penegasan terkait perlakuan penyerahan batubara oleh PKP2B Generasi III.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala menuturkan, penyelesaian sengketa pajak di pengadilan akan memakan waktu.

“Tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Alhasil perkara ini akan membebani perusahaan lantaran akan menyita perhatian. Disamping itu, tidak ada kepastian usaha bagi PKP2B Generasi III,” jelasnya.

Supriatna juga menginginkan agar Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengikuti rekomendasi BPK, yaitu membuat penegasan terkait perlakukan pengenaan PPN pada PKP2B generasi ketiga.

“Sesuai rekomendasi BPK. Kami minta segera diterbitkan surat edaran penafsiran PPN dari Menteri Keuangan,” ungkap dia.

Sementara Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir mengungkapkan, jumlah kelebihan pajak dari 11 perusahaan PKP2B Generasi III itu sekitar Rp 1,5 triliun, dan seharusnya dikembalikan kepada para kontraktor, karena memang mereka berhak atas restitusi pajak pertambahan nilai tersebut.

“Kami sudah melayangkan surat secara resmi ke Dirjen pajak. Karena ada pergantian di Ditjen Pajak, maka kami mengulangi mengirim surat. Sepertinya kantor Pajak tidak punya uang untuk restitusi ini,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Eka