Semarang, Aktual.com — Kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengirim tiga utusan untuk terlibat secara aktif dalam Kongres IX Perhimpunan Entomologi Indonesia di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, 1-3 Oktober 2015.
Komunitas seniman petani di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu akan menjadi salah satu pembicara seminar, ikut pameran karya topeng serangga dan lukisan, serta mementaskan wayang kontemporer “Wayang Gunung”.
“Kami bertiga menjadi duta dari Komunitas Lima Gunung dalam Kongres PEI 2015,” kata seorang pemimpin Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sujono didampingi dalang muda Sih Agung Prasetyo dan seniman topeng Khoirul Mutaqin di Magelang, Rabu (30/9).
Sujono yang pemimpin Sanggar Saujana Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu itu, selain memajang karya lukisan bertema serangga dengan judul “Sri Kinjeng” dan “Family Insect”, juga menjadi salah satu narasumber seminar tentang serangga dalam kongres tersebut.
Dalang muda Sih Agung Prasetyo mementaskan “Wayang Gunung” dengan para tokoh berupa 15 serangga, seperti wereng, capung, tengis, gangsir, nyamuk, dan belalang. Lakon pementasan wayang kontemporer dalam durasi padat tersebut, yakni “Banjaran Semprang”.
Sedangkan Khoirul Mutaqin, selain menjadi salah satu pemain dalam pentas “Wayang Gunung”, juga memamerkan empat karya topengnya yang berkarakter kinjeng (Capung).
“Kami juga memamerkan kostum capung, salah satu yang menjadi kostum tarian kontemporer gunung karya komunitas kami, ‘Topeng Saujana’,” katanya.
Sih Agung, yang juga guru bahasa Jawa di salah satu sekolah swasta di Kota Magelang itu, mengatakan keikutsertaan Komunitas Lima Gunung dalam Kongres IX PEI di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya Malang itu, selain memperkaya wawasan tentang serangga bagi kelompok senimannya, juga menjadi kesempatan komunitas itu menyebarluaskan inspirasi tentang keragaman hayati.
“Seperti melalui ‘Wayang Gunung’ ciptaan komunitas kami ini. Melalui kongres itu kami menunjukkan kepedulian tentang pentingnya menjaga keragaman hayati melalui karya seni budaya,” katanya.
Ia menjelaskan lakon “Banjaran Semprang” dalam pementasannya berkisah tentang kehidupan capung sejak lahir hingga mati dengan pesan yang hendak disampaikan terkait dengan kritik sosial terhadap perubahan lingkungan alam.
“Berupa curahan hati semprang atau capung kepada alam di sekeliling kita sekarang ini. Semprang mulai habis karena banyaknya penggunaan pestisida secara berlebihan dalam pertanian, hilangnya habitat serangga karena banyak bangunan-bangunan,” katanya lagi.
Artikel ini ditulis oleh: