LELAKI berkacamata minus itu keluar dari pintu dan menyambut dengan hangat. Senyumnya mengembang lebar di wajahnya yang berseri. Dengan peci berwarna putih, bersarung kotak-kotak, dan berbaju koko putih lengan panjang dengan aksen colekat muda memanjang ke bawah, Buni Yani mempersilakan saya masuk ke rumahnya, di kawasan Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Sebuah rumah yang asri, dengan tetanaman di halaman. Rumahnya sama sekali tidak besar, hanya tipe 45 dengan luas lahan 114 m2.
Saya tidak mengira, Senin sore itu akhirnya bisa jumpa dengan sosok yang berjasa besar kepada ummat Islam ini. Lewat unggahan video pidato Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu yang menista surat al Maidah ayat 51, Buni berhasil membangkitkan ghiroh ummat atas penistaan terhadap agamanya.
“Rasa cemburu atau ghiroh dalam konteks beragama adalah konsekuensi dari Iman itu sendiri. Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghiroh telah hilang darimu. Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantilah bajumu dengan kain kafan. Sebab kehilangan ghiroh sama dengan mati,” tulis ulama besar Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Ghiroh.
Ghiroh yang dipantik video penistaan agama oleh Ahok inilah yang berbuah protes yang merebak di mana-mana. Demo yang berbalut tajuk aksi bela Islam digelar berjilid-jilid di Jakarta, melibatkan ratusan ribu bahkan jutaan ummat yang ikhlas datang dari seantero negeri.
Buni berperawakan sedang saja, bahkan bisa disebut kecil. Lelaki kelahiran Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) 48 tahun lalu itu benar-benar bersahaja. Kami duduk di ruang tamu dengan lebar 3 meter. Hanya ada satu set meja kursi sederhana berwarna cokelat gelap.
Jarak ruang tamu dan ruang keluarga yang juga merangkap ruang makan hanya dipisah oleh lemari buku kecil. Di sisi kiri pintu, juga ada lemari buku yang susunannya tidak bisa disebut rapi. Mungkin karena si empunya memang hobi membaca, hingga belum sempat meletakkan kembali buku yang usai dibacanya dengan rapi.
Artikel ini ditulis oleh: