Sejak menjadi tersangka akibat video unggahannya menjadi viral, Buni memang harus mengubah ritme hidupnya. Sebelumnya dia adalah dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta Pusat.
Namun, seiring dengan merebaknya kasus penistaan agama oleh Ahok, berbagai intimidasi dan ancaman terus bertubi-tubi menimpanya. Gangguan dan prilaku premanisme bahkan juga menghinggapi kampus tempatnya mengajar. Tidak ingin masalahnya merembet ke kampus, Buni memilih mengundurkan diri sebagai pengajar.
Tapi teror terus saja bergelombang datang. Telepon genggamnya dipenuhi berbagai pesan dan ancaman. Bahkan ada juga beberapa ancaman yang akan membunuh. Namun baginya semua itu dianggap sebagai risiko perjuangan. Kata dia;
“Syukur alhamdulillah, sejauh ini teror dan ancaman itu hanya ditujukan kepada saya saja. Allah masih melindungi anak dan istri dari hal serupa itu. Tapi beberapa kali para peneror datang ke rumah dengan mobil,”
“Mereka tidak memang masuk, tapi hanya mondar-mandir di gang depan. Sesekali mereka memarkir mobilnya cukup lama pas di depan rumah tanpa keperluan yang jelas. Sepertinya orang-orang itu memang bermaksud menjatuhkan mental saya dan keluarga,”
Obrolan hangat di sore yang cerah itu harus terhenti sejenak. Saya harus pamit ke masjid. Maklum, tadi berangkat belum masuk waktu sholat ashar. Kereta commuter line yang mengangkut saya dari stasiun Bojong Indah, Jakbar, memang tepat waktu. Tapi Obeth, anak muda pengemudi ojek Grab yang membawa saya dari stasiun Depok, rupanya tidak kenal jalan dan daerah Cilodong.
Akibatnya kami harus berputar-putar memakan waktu hampir satu jam. Jadilah saya telat melaksanakan shalat ashar.
Artikel ini ditulis oleh: