Buni memang tuan rumah yang baik. Dia tidak saja menunjukkan masjid di komplek perumahan itu, tapi juga menemani menuju lokasi. Saya memintanya kembali ke rumah begitu masjid yang dituju tampak. Usai, shalat saya segera kembali karena tidak sabar ingin melanjutkan obrolan yang amat menarik tadi.

Sambil menyeruput teh manis di cangkir dan sesekali menjumput wafer yang disuguhkan, kami banyak bicara soal aktivitasnya usai tidak lagi mengajar.Berhenti menjadi dosen ternyata tidak membuat Buni terpuruk.

Aktivitasnya justru makin bejibun. Tidak ada hari yang dilaluinya tanpa seabrek kesibukan. Mulai dari keliling bicara di banyak event dan forum, sampai ketemu dengan para aktivis untuk menggagas sejumlah program atau kegiatan.

Ya, Buni memang mendadak jadi ustadz. Banyak permintaan dia mengisi acara di berbagai pengajian yang diselenggarakan masjid atau majelis taklim. Padahal, dia sendiri merasa ilmu agamanya masih amat dangkal. “Masih harus banyak belajar,” katanya merendah.

Tentang kesibukannya bertemu dengan banyak orang, dia menjelaskan materinya tidak melulu soal agama. Maksudnya, tidak hanya berkisar soal-soal ibadah yang mengasah kesalehan individual. Justru sebaliknya, dia belakangan ini banyak berbincang tentang aspek sosial dalam beribadah.

“Kami sedang mengupayakan kebangkitan ekonomi umat. Antara lain melalui usaha bersama membuat warung makan. Usaha ini sudah berbentuk PT dengan saham Rp500.000 per lembar. Siapa saja boleh ikut, tapi maksimal memiliki 10 lembar,”

“Alhamdulillah, jumlah dana yang terkumpul sudah Rp400 juta lebih. Sebagian sudah digunakan untuk menyewa gedung tiga lantai sebagai lokasi warung makan,” ujarnya dengan mimik optimistis.

Artikel ini ditulis oleh: