Puluhan keluarga TNI penghuni Kompleks Perwira Markas Besar Angkatan Darat (Mabad) Kebon Jeruk, Jakarta Barat, berunjuk rasa menolak pengusiran paksa oleh Komando Daerah Militer Jaya (Kodam Jaya), Senin (7/9/2015). Dalam aksinya warga menolak meninggalkan kompleks itu karena sudah menempati kompleks sejak tahun 60 lalu. Warga menyebutkan bahwa rumah yang mereka tempati dibangun dari hasil jerih payah mereka sendiri.

Jakarta, Aktual.com – Hampir seluruh kasus penggusuran di DKI Jakarta sepanjang 2015, dilakukan tanpa melalui prosedur musyawarah yang tulus. Temuan itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di 2015.

Padahal tahapan musyawarah sudah disebutkan dalam Pendapat Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa. Yang di dalam salah satu ketentuannya, mengatur bahwa penggusuran yang memenuhi standar HAM adalah adanya musyawarah yang tulus antara pihak yang akan melakukan penggusuran dan warga terdampak.

LBH Jakarta menyebutkan musyawarah yang tulus juga wajib disertai pemberian informasi yang cukup bagi warga terdampak mengenai pengalihgunaan lahan yang sedang mereka huni.

“Ironisnya, berdasarkan penelitian yang kami lakukan, hampir seluruh kasus penggusuran paksa yang terjadi di wilayah DKI Jakarta tidak melalui prosedur musyawarah yang tulus sebelum melaksanakan penggusuran,” tulis LBH Jakarta dalam paparan yang diterima Aktual.com, Kamis (17/12).

Dari catatan LBH Jakarta, tujuan penggusuran paksa paling tinggi adalah penggunaan lahan untuk tujuan normalisasi sungai dan penertiban. Dari 30 kasus penggusuran paksa di tahun 2015, untuk tujuan normalisasi sungai terjadi di 12 titik.

Sepanjang 2015, ada 26 dari total 30 kasus penggusuran paksa di DKI Jakarta yang sama sekali tidak melalui proses musyawarah yang baik. Hanya empat kasus yang lebih dulu melakukan komunikasi dua arah bersama warga.

Meskipun LBH Jakarta mengakui data yang diperoleh belum dapat menganalisa apakah musyawarah itu sungguh menampung dan mengakomodir pikiran dan kepentingan warga.

“Atau hanya sebatas formalitas. Untuk hal tersebut dibutuhkan penelitian lebih lanjut,” tulis LBH Jakarta dalam hasil penelitiannya.

Artikel ini ditulis oleh: