Jakarta, aktual.com – Seorang ustadz dengan pedenya (percaya diri) mentahdzir umat agar tidak memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Dasarnya? Yah gitu deh, dalil dan argumen cuman itu-itu aja, main langsung kutip Al-Qur’an dan Al-Hadits seakan sudah selevel dengan para mujtahid yang ahli mengambil istinbath hukum.

Catat ya Ustadz!

Selain dalil kebolehan bahkan keutamaan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW yang seabrek ditulis dalam puluhan bahkan mungkin ratusan kitab tentang itu (diantaranya karangan Al-Hafidz As-Suyuthi, Al-Hafidz Al-‘Iraqi, Syaikh Al-Jazri, Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, dll), dimensi yang tercakup dalam peringatan Maulid bisa disebutkan:

1. Ekspresi Cinta dan Gembira
2. Mengenal Sirah Nabawiyah
3. Membangun jembatan hubungan ruhaniyah dengan Sang Nabi
4. Menggelorakan syiar agama Islam
5. Dan lainnya

1. Ekspresi Cinta dan gembira

Cinta kepada Rasulullah SAW merupakan bagian integral dari iman kepada Beliau yang merupakan rukun iman.

Urutannya, beriman kepada Rasulullah dan semua para nabi dan rasul membawa kepada usaha mengenal sejarah atau sirah mereka. Dari mengenal ini kemudian timbul rasa takzim dan kagum serta cinta kepada mereka, yang berikutnya lalu berusaha mengikuti jalan sunnahnya dan meneladaninya dalam semua aspek kehidupan.

Yang diperkenalkan kepada sejarah para nabi dan rasul pertama-tama adalah Rasulullah dulu melalui wahyu Al-Qur’an, yang salah satu tujuannya adalah peneguhan hati dalam perjuangan (تثبيت الفؤاد) sebagaimana termuat dalam Al-Qur’an,

(وَكُلࣰّا نَّقُصُّ عَلَیۡكَ مِنۡ أَنۢبَاۤءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَۚ وَجَاۤءَكَ فِی هَـٰذِهِ ٱلۡحَقُّ وَمَوۡعِظَةࣱ وَذِكۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِینَ)

“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman”. [QS Hud 11:120].

Bahkan Allah Ta’ala sampai membandingkan skala kekuatan musuh perjuangan Rasulullah dengan para nabi terdahulu

(وَكَذَّبَ ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَمَا بَلَغُوا۟ مِعۡشَارَ مَاۤ ءَاتَیۡنَـٰهُمۡ فَكَذَّبُوا۟ رُسُلِیۖ فَكَیۡفَ كَانَ نَكِیرِ)

“Dan orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sedang orang-orang (kafir Mekah) itu belum sampai menerima sepersepuluh dari apa yang telah Kami berikan kepada orang-orang terdahulu itu namun mereka mendustakan para rasul-Ku. Maka (lihatlah) bagaimana dahsyatnya akibat kemurkaan-Ku.” [QS Saba’ 34:45].

Jika Rasulullah saja diberikan kisah perjuangan pendahulunya untuk memantapkan hati beliau, maka kita umatnya lebih memerlukan lagi hal-hal yang meneguhkan hati kita dalam beriman, yang salah satunya adalah dengan mendengarkan kisah yang menambah cinta kita kepadanya dan menghidupkan sirahnya dalam jiwa kita.

Cinta adalah kekuatan dahsyat yang mengantarkan pecinta pada perilaku mementingkan yang dicinta melebihi lainnya. Cinta jadikan seseorang rela berkorban apapun bahkan nyawa demi yang dicintainya.

Kisah seorang tentara di India yang reflek membunuh seorang perwira tinggi dihadapannya yang menghina Rasulullah SAW. Pemuda yang akhirnya dihukum mati tersebut jenasahnya diantarkan ratusan ribu umat Islam yang bersimpati kepadanya dan menjadikannya pahlawan. Atau kisah seorang hakim yang tidak mau menghukum seorang pemuda yang membunuh orang menghina Rasulullah SAW. Dari meja kebesarannya, sang hakim menghampiri sang pemuda dan menyanjungnya, lalu dia mendeklarasikan diri berhenti jadi hakim. Hakim itu kemudian dikenal sebagai pecinta Rasulullah SAW yang menulis banyak buku tentang Rasulullah SAW. Dialah Syaikh Yusuf An-Nabhani, penulis kitab Al-Anwar Al-Muhammadiyah. Cucu beliau, Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani adalah pendiri Hizbut Tahrir.

Peringatan maulid juga merupakan ekspresi gembira dan syukur atas kelahiran Sang Rasul. Syukur karena kelahiran manusia teragung itu adalah karunia Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya.

(لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِینَ إِذۡ بَعَثَ فِیهِمۡ رَسُولࣰا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ یَتۡلُوا۟ عَلَیۡهِمۡ ءَایَـٰتِهِۦ وَیُزَكِّیهِمۡ وَیُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبۡلُ لَفِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینٍ)

“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [QS Ali ‘Imran 3:164]

Jelas disebut disana bahwa diutusnya Rasulullah Muhammad SAW adalah karunia yang harus disyukuri.

Ketika Al-Qur’an menyuruh kita untuk banyak menangis dan tidak terlalu banyak tertawa (lihat QS At-Taubah 9:81), sebagaimana Rasulullah juga mengatakan, “kalau kalian tahu yang aku tahu maka kalian akan sesikit tertawa dan banyak menangis”. (HR. Al-Bukhari dari Anas bin Malik).

Kata gembira (فرح) dalam Al-Qur’an kebanyakan berkonotasi negatif. Namun ada kegembiraan yang justru diperintahkan kepada kita, yaitu gembira atas karunia dan rahmat Allah.
(قُلۡ بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَ ٰ⁠لِكَ فَلۡیَفۡرَحُوا۟ هُوَ خَیۡرࣱ مِّمَّا یَجۡمَعُونَ)

Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” [QS Yunus 10:58].

Karunia yang mana? Diantaranya karunia yang disebut dalam QS Ali Imran 164 diatas.

Gembira (فرح) itu wujudnya adalah sikap, sedangkan berita tentang sesuatu yang menggembirakan disebut kabar gembira (بشرى). Para nabi, khususnya Nabi Isa AS menyebutkan kabar gembira akan nabi setelahnya yang bernama Ahmad. (QS As-Shaff 61:6). Jadi tepatlah jika kelahiran Rasulullah SAW adalah karunia yang sangat besar yang bahkan sudah dikabarkan kegembiraan itu oleh para nabi sebelumnya. Tentu kita patut lebih bersyukur dan bergembira karena sebagai umatnya kita pun naik kelas menjadi sebaik-baik umat. (خير أمة).

Jadi masih perlu dalil untuk bergembira dengan maulid Nabi Muhammad SAW? Benarlah kata Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki bahwa orang yang.menentang perayaan Maulid seakan dia bertanya untuk apa vergembira atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sebuah sikap dan pertanyaan yang absurd dari seorang yang mengaku Muslim.

Oleh: Ketua Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta Jamaluddin F Hasyim

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin