Jakarta, aktual.com – Alokasi pasokan gas bumi untuk dalam negeri (domestik) mencapai 57% setara 4,016 miliar british thermal unit per hari (BBTUD). Anehnya, meski porsi domestik kian besar, di lapangan, serapannya masih memble.
Menurut data SKK Migas, tahun 2015 untuk sektor listrik dari alokasi gas sebesar 1.273,23 bbtud, hanya dipakai 939.11 bbtud. Industri dengan alokasi 1.560,91 bbtud hanya dipakai 1.263,17 bbtud. Sementara pupuk yang diberikan jatah 796,96 bbtud hanya dimanfaatkan sebanyak 737,46 bbtud. Alokasi untuk PLN 14 kargo hanya terserap 11 kargo.
Pakar kebijakan energi Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, menilai, rendahnya serapan pasokan gas di dalam negeri terjadi karena minimnya infrastruktur penyaluran distribusi gas.
“Solusinya pemerintah harus terus mendorong infrastruktur penyaluran gas,” tegas Iwa, saat dihubungi media, Selasa (26/7).
Saat ditanya terkait ekspor gas alam cair (LNG) yang masih tinggi, mencapai 1,989 BBTUD (29,10%), sementara serapan LNG domestik hanya 403,79 BBTUD (5,91%), menurut Iwa, disebabkan beberapa faktor bisa karena ada kontrak jangka panjang, juga disebabkan tidak meratanya fasilitas infrastrur penerimaan LNG.
Contoh, LNG yang tersedia di Tangguh, belum bisa dikirim ke Papua atau Merauke karena infrastruktur tidak mendukung. “Rendahnya penyerapan juga bisa dilihat apakah ada masalah dari sisi perhitungan supply dan demand,” katanya.
Iwa mengingatkan, sebagai negara kepulauan dengan infrastruktur yang tidak merata, maka harus dibuat dipersiapkan beragam transportasi penyaluran gas, tidak hanya mengandalkan pipa supaya gas yang ada di wilayah timur bisa tersalurkan merata. Jangan lagi, kebijakan terus berfokus pada minyak alias bahan bakar minyak.
Menurut Iwa potensi besar LNG alias gas alam, harus terus didorong oleh pemerintah dan tidak semata-mata untuk kepentingan pendapatan negara saja dengan mengekspor. Paradigmanya, kata Iwa, harus diubah yakni dimanfaatkan untuk mendorong ekonomi dalam negeri.
“Harus berpikir, energi bukan semata komoditas tapi dari penguatan ekonomi, infrastruktur,” tandasnya.
Jika dibandingkan diesel, pengunaan gas untuk kapasitas 100 MW akan menghemat Rp2 triliun per tahun. Kalau 200 MW akan menghemat Rp4 triliun per tahun dengan harga gas sekarang.
Nah, dari 90 persen gas yang diekspor sekarang hanya 60 persen yang digunakan ekspor. Ada 30 persen yang nganggur. Tapi 30 persen ini ‘untaken’ alias tak terpakai. Jika buyer luar negeri membutuhkan maka diambil lagi.
“Ketidakstabilan penyediaan gas ini menyebabkan konsumen selalu was-was dengan model kontrak gas yang tidak pasti ini. Hal ini melahirkan kontrak-kontrak jangka pendek,” ucap Iwa.
Sementara, ekonom dan peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmi Radhi, mengemukakan hal senada, keterbatasan jaringan pipa gas jadi faktor kunci rendahnya penyerapan di dalam negeri. Masalah kian pelik dibarengi dengan maraknya prakter trader gas, mereka yang tidak punya pipa tapi mendapat alokasi gas karena kedekatan politik.
Untuk mendukung penyerapan gas dalam negeri, juga jangan bergantung ke jaringan pipa karena proses pembangunan akan makan waktu lama. Untuk itu, model pembangunan mini terminal LNG Benoa, kata Fahmi, juga bisa digunakan diaplikasikan agar potensi besar LNG di dalam negeri bisa disalurkan ke berbagai daerah apalagi pemerintah sedang mendukung tol laut dan sektor maritim.
Fahmi meminta persoalan infrastruktur gas, mulai dari LNG Terminal/LNG Vessel dan Pipanisasi LNG oleh PGN dan Pertamina dituntaskan agar masalah tidak terulang. Karena Indonesia kepulauan dan sumber LNG di laut maka dibutuhkan terminal LNG baik kebutuhan besar maupun kecil. Jika, tidak ada infrastruktur di midstream maka terjadi pemindahan pengunaan PLTG dari gas ke diesel jumlahnya sekitar 10.000 MW.
“Kenapa model Mini Terminal LNG sangat dibutuhkan, karena cocok sesuai karakter negara kepulauan, menghemat anggaran negara, dan pengerjaan cepat. Ini bisa jadi salah satu solusi, jika dibangun di berbagai daerah tentu manfaatnya besar, lebih luas,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka