Jakarta, aktual.com – Presiden FSPPB, Arie Gumilar mengatakan sejak lahirnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas, pengelolaan energi khususnya sektor Migas menjadi liberal dan cenderung dikendalikan oleh Kapitalis

Menurutnya, Pertamina yang semula terintegrasi dari hulu sampai hilir, namun dengan undang-undang tersebut kewenangan Pertamina dikebiri dengan cara dipisah-pisah atau unbundling.

“Di sektor hulu posisi Pertamina dipersamakan dengan KKKS asing. demikian juga di hilir dibentuk AP AP yang terkadang antar AP bahkan dengan Induknya harus saling berkompetisi. Akhir akhir ini Kilang (Refinery Unit) juga akan di unbundling dijadikan AP. Bahkan beberapa kilang akan membentuk JV Sehingga tidak lagi 100% Pertamina,” katanya pada saat buka puasa bersama di Jakarta, Senin (20/5).

Selanjutnya dia mencontoh, bahwasanya turunan dari UU No 22 th 2001 seringkali tidak berpihak kepada Pertamina.

“Contohnya Permen ESDM No. 23 tahun 2018 yang telah dibatalkan MA karena digugat oleh FSPPB. Penetapan tarif Signatore Bonus untuk Blok Rokan dan Komitmen Kerja Pasti fantastis yang membebani Pertamina,” sesalnya.

Tidak hanya itu, dia juga menyebutkan PP No. 72 tahun 2016 tentang Holding Migas menyisakan banyak permasalahan.

“kerana 43% Saham PGN dimiliki oleh publik (asing). Pertagas sudah diakuisisi oleh PGN, ada juga kabar bahwa Bisnis LNG akan dipindahkan juga ke PGN,” ujarnya.

Kemudian yang juga menjadi catatanya, Sk 39/MBU/II/2017 tentang Nomenklatur Direksi Pertamina yang dinilai membuat korporasi bekerja tidak efektif.

“Direksi menjadi gemuk. Direktorat gas dan EBT dinilai tidak sesuai dengan visi Pertamina menjadi Perusahaan Energi kelas Dunia,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin