Jakarta, Aktual.com – Sejak tanggal 2 Januari 2015, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terus menerus mengganti pejabat eselon II-IV di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Alasannya, ingin pemerintahan bersih dari praktik korupsi kolusi nepotisme (KKN). Ahok juga ingin birokrasi bergerak dinamis dan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi dalam menjalani pemerintahan.
Namun pendapat berbeda justru disampaikan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofyan Effendy. Menurut dia penggantian pejabat yang terlalu cepat akan mengganggu stabilitas birokrasi daerah. Jika stabilitas terganggu, birokrasi pun tidak akan bisa berjalan dengan baik.
“Dengan penggantian yang terlalu cepat, pejabat tidak akan bisa memantapkan diri. Birokrasi menjadi tidak efektif dan tidak produktif. Kinerjanya pun tidak akan baik, di bawah standar,” kata dia, saat dihubungi wartawan Rabu (12/8).
Dikatakan Sofyan hal itu bisa dilihat dari penyerapan anggaran daerah yang masih relatif kecil. Perekonomian daerah, kata Sofyan, bergantung pada kinerja anggaran. Sementara kinerja anggaran bergantung pada kinerja pejabat.
Diketahui Gubernur sempat menganggap kinerja bawahan tidak memuaskan, Diuangkapnya Sofyan, meskipun demikian namun pejabat tidak bisa setiap saat diganti.
Menurutnya dalam sebuah pergantian pejabat harus ada bukti yang obyektif soal kinerja pejabat yang bersangkutan. Seperti undang-undang pun waktunya harus dua tahun sebelum penggantian pejabat baru.
“Meskipun penggantian pejabat merupakan hak prerogatif kepala daerah, tetap harus sesuai aturan yang ada. Sebaiknya Pak Basuki tidak terlalu sering mengganti pejabat. Stabilitas birokrasi ini harus diperhitungkan,” ujar dia.
Artikel ini ditulis oleh: