Menhan Ryamizard Ryacudu (kanan) didampingi Dirut PT Pindad Silmy Karim memperlihatkan produk senjata baru PT Pindad ketika peluncuran di Kantor Kemenhan, Jakarta Kamis (9/6) PT Pindad meluncurkan empat senjata baru yakni senapan serbu SS3, Senapan serbu SS2 Subsonic 5,66 mm, Sub Machine Gun PM3 dan Pistol G2 Premium sebagai bentuk komitmen menghasilkan produk dalam negeri untuk mendukung kekuatan militer dan mewujudkan kemandirian industri pertahanan dalam negeri. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/16.

Jakarta, Aktual.com —  Ketua Setara Institute Hendardi mempertanyakan kinerja Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang dinilai tak jelas. Pasalnya, sejak awal menjabat sebagai Menhan, Ryamizard Ryacudu telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan kontroversial, termasuk kampanye adanya potensi-potensi ancaman secara berlebihan. Dari mulai membentuk kader bela negara dengan paradigma dan pendekatan militer, kampanye kebangkitan PKI, hingga membentuk kantor-kantor wilayah pertahanan di setiap propinsi.

“Seringkali rencana itu justru di luar perencanaan, di luar ketersediaan anggaran, dan tampak jalan sendiri tanpa koordinasi memadai dengan kementerian lain,” ujar Hendardi di Jakarta, Minggu (12/6).

Ia pun menilai kemungkinan Presiden Joko Widodo juga tidak memperoleh laporan dari langkah-langkah Menhan. Apalagi, Menhan akan membentuk satuan intelijen sendiri termasuk kelengkapan satelit pertahanan.

Menurutnya, Menhan tampak bekerja bukan berbasis pada perencanaan dan mandat reformasi pertahanan dan militer sebagaimana diamanatkan UU Pertahanan dan juga UU TNI.

Karena itu, lanjut Hendardi, banyak agenda strategis bidang pertahanan yang justru diabaikan seperti penataan bisnis militer, penataan SDM militer, reformasi peradilan militer, dan transformasi paradigmatik dalam menghadapi tantangan pertahanan mutakhir yang umumnya tidak dalam bentuk tantangan fisik atau serangan.

“Kalau alasan kurang informasi, di tubuh TNI terdapat satuan-satuan intel yang bisa didayagunakan. Lalu koordinasi dengan BIN sebagai pusat informasi intelijen negara. Jadi ini soal keengganan berkoordinasi saja. Masing-masing ingin menunjukkan keunggulan institusinya bukan koordinasi untuk kepentingan bangsa dan negara,” jelasnya.

Sementara, terkait soal kantor pertahanan di daerah, menurut Hendardi, kodam dan kodim masih efektif bekerja. Sebab semua infrastruktur dan suprasturktur itu berada di bawah Menhan.

“Jadi apa urgensi gagasan Menhan? Saya sulit memahami,” kata Hendardi.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka