Yogyakarta, Aktual.com — Jika kita bicara tentang pertanahan, level Presiden atau pemerintah pusat itu mestinya urusannya ada di level kebijakan. Yang dibutuhkan rakyat sekarang ini adalah Reformasi agraria atau Land Reform, merestrukturisasi kepemilikan tanah, sehingga struktur yang timpang jadi lebih adil dan baik.
Yang belum punya tanah jadi bisa punya tanah, yang tanahnya terlalu banyak dibatasi kepemilikannya, sehingga tidak seperti sekarang ini, 1% penduduk menguasai 80% tanah. Data yang lain menyatakan 74% tanah dikuasai orang-orang kaya maupun korporasi.
Kalau cuma bagi-bagi sertifikat itu bagian dari pelayanan publik. Cukup BPN (Badan Pertanahan Nasional) beserta Lurah, Camat atau Bupati/Walikota, tak perlu Presiden. Mestinya, pembagian kewenangan, termasuk urusan sertifikasi tanah ini dipahami para penyelenggara negara.
Pertanyaannya sekarang, kenapa Presiden harus turun tangan secara langsung dalam urusan pelayanan publik yang seharusnya dilakukan oleh lembaga teknis seperti BPN bersama penyelenggara pemerintahan di daerah? Ada dua kemungkinan.
Pertama, karena kinerja jajaran BPN mulai dari Menteri sampai Kepala BPN di Kabupaten/Kota tidak beres. Pengurusan sertifikat waktunya sangat lama, rakyat bukannya dipermudah tapi malah dipersulit dan lain-lain sehingga Presiden perlu turun tangan secara langsung.
Kedua, ini bagian dari politik pencitraan. Dengan memanfaatkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat – yang itu tidak bisa dilepaskan dari kinerja BPN, maka dibuatlah skenario, Presiden sebagai ‘sinterklas’ dalam urusan sertifikat. Simsalabim, sertifikasi bisa dilakukan dengan cepat serta massal.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa BPN bersama Pemerintah Daerah tidak bisa menghadirkan pelayanan yang bagus seperti itu? Mengapa kemudian hal tersebut bisa dilakukan oleh Presiden?
Dalam hal ini, bukan tidak mungkin rakyat yang sudah menjadi korban lantaran dipersulit atau tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik lantas dijadikan objek permainan/pencitraan politik. Atau, bisa jadi disamping bagian dari pencitraan politik juga untuk menutupi kebijakan-kebijakan lain di sektor pertanahan yang semakin tidak berpihak pada rakyat, sehingga 80% tanah bisa dikuasai 1% penduduk. Kalau itu yang terjadi, tentu bisa disebut ‘pengibulan’.
Kita mendukung Presiden/pemerintah merestrukturisasi kepemilikan tanah melalui Land Reform. Tanah-tanah yang dikuasai personal/korporasi sebagian dibagi-bagikan kepada rakyat yang belum memiliki tanah, sehingga struktur yang timpang menjadi lebih adil serta lebih baik.
Oleh: Nazaruddin – Ketua DPW PAN DIY
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis