Semarang, Aktual.com — Nikmat mendasar sebagai rahmat Ilahi kepada umat manusia, diungkapkan Gus Yusuf, “Fa bi ayyi ala irobbikuma tukadzibaan” yang artinya, “Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak engkau dustakan?”.

Ungkapan tentang nikmat Allah SWT itu dikutip dari ayat yang diulang-ulang dalam Al Quran, Surat Ar Rahman, dan disampaikan oleh K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) dalam pergelaran “Suran Tegalrejo”, Rabu (18/11) hingga persis tengah malam. Pergelaran itu sendiri digarap oleh komunitas santri Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo yang dipimpinnya, bersama para seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang.

Kiai yang juga pemuka spiritual Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) itu, memanggil sejumlah tamu penting yang hadir di kompleks Ponpes setempat untuk maju ke tempat pergelaran, menjadi saksi seruan damai dari gunung kepada dunia.

Seruan mereka sampaikan terkait dengan peristiwa teror bom di sejumlah tempat di dunia, seperti belum lama ini menimpa Prancis, dan konflik tak berkesudahan lainnya di Timur Tengah. Sebanyak tujuh serangan brutal di enam tempat di Prancis pada Jumat (13/11) dini hari waktu setempat, mengakibatkan 132 orang tewas dan 349 lainnya luka-luka.

“Hentikan kekerasan-kekerasan sekarang juga, jangan sampai anak-anak kita menangis bersedih. Seruan damai harus terus-menerus dilakukan,” ujarnya.

Tindak kekerasan yang masih saja terjadi hingga tahun ini, katanya, telah menafikan sifat-sifat mulia kemanusiaan. Berbagai tindak kekerasan telah membuat duka dunia, sekaligus dunia berbelasungkawa.

Budayawan Magelang Sutanto Mendut juga mengemukakan keprihatinan atas peristiwa kekerasan yang tidak saja terjadi di Prancis, akan tetapi juga di berbagai tempat lainnya di dunia, termasuk di Indonesia.

“Terjadinya (teror, red.) di Prancis, tetapi yang cemas, prihatin, dan bersedih seluruh dunia. Begitu juga dalam perspektif bencana, letusan gunung sebagai peristiwa alam, membuat yang tinggal di dekat maupun jauh dari gunung menjadi cemas, dan sepanjang zaman menjadi ingatan kesedihan,” kata pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung itu.

Semangat damai, ungkapnya usai pidato kebudayaan pada pergelaran “Suran Tegalrejo” malam itu, memberikan harapan yang bernilai tentang kehidupan manusia di alamnya, dan untuk pemaknaan segala zaman.

Performa Komunitas Lima Gunung dengan ratusan pementas mengenakan pakaian dan properti serba warna hitam, menandai penyampaian doa dan seruan damai dari Ponpes Tegalrejo, dalam sesi pementasan kolosan berjudul “Belasungkawa Gunung pada Dunia”.

Sejumlah pementasan kesenian rakyat kontemporer gunung mereka usung dengan koreografer salah satu petinggi komunitas itu, Riyadi, antara lain musik “Pitutur Alam Ingatan Damai”, tarian “Soreng Kebul Mabur”, “Bedayan Asap Enggan Henti”, “Buto Pethok Terus”, “Warok Bocah Tulus Damai”, dan “Jaran Juru Perdamaian”.

Pementasan lainnya berupa sejumlah karya musik ekploratif oleh grup “Jodokemil” Kabupaten Magelang pimpinan Arif Sigit Prasetyo, tarian bernuansa islami “Obros” dari Dusun Petugan, Desa Jebengsari, Kecamatan Salaman pimpinan Basirun. Hadir pada kesempatan itu, para tokoh dan masyarakat dengan berbagai latar belakang, seperti agama dan etnis, yang tinggal di Magelang dan sekitarnya.

Selain itu, wayang Komunitas Lima Gunung, “Wayang Gunung Kulit Wong Urip”, menyuguhkan lakon “Swargaloka Peteng Geseng” dengan sejumlah seniman Sanggar Saujana Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan memainkan karakter tokoh dari dunia satwa.

Lakon wayang kontemporer yang dibawakan secara humor oleh dalang Sih Agung Prasetyo itu, bercerita tentang perebutan kekuasan, pengaruh, dan penghidupan oleh mahkluk hidup yang mengakibatkan bencana kemanusiaan.

Pentas ‘Ketoprak Ringkes Tjap Tjontong’ dari Yogyakarta dengan para pemain yang juga pelawak, seperti Marwoto Kewer dan Den Baguse Ngarso, turut memeriahkan pergelaran “Suran Tegalrejo” yang pada 2015 sebagai penyelenggaraan secara rutin selama tujuh tahun berturut-turut, digarap oleh Ponpes API Tegalrejo bersama Komunitas Lima Gunung.

Pergelaran dengan menyuguhkan tema-tema aktual terkait dengan perkembangan situasi zaman, insan, dan alam itu, disebut Gus Yusuf menjadi ajang silaturahim masyarakat dengan berbagai latar belakang, termasuk para seniman dan budayawan dengan jejaringnya.

Performa kolosal “Belasungkawa Gunung pada Dunia” dengan tabuhan riuh berbagai alat musik tradisional dan modern, diawali dengan tembang suluk oleh dalang Sih Agung yang kira-kira maksudnya sebagai ungkapan atas suasana kesedihan yang bagaikan manusia menjelang ajal.

“‘Surem surem diwangkara kingkin. Lir manguswa kang layon. Sirna ilang mamanise. Wadananira layung. Kumel kucem rahnya mratani. Mring sariranipun. Meles dennya ludira kawangwang’,” begitu syair tembang berbahasa Jawa itu.

Para penari kolosal kemudian membentuk konfigurasi setengah lingkaran di area pergelaran di atas jalan beraspal di kompleks ponpes tersebut. Asap putih mengepul mewarnai sajian, sedangkan Gus Yusuf didampingi sejumlah tokoh menyampaikan seruan pentingnya penghormatan paling tinggi terhadap nilai-nilai kehidupan manusia.

Seruan terdiri atas tiga poin, yakni penghentian segala bentuk kekerasan atas nama apapun yang membuat manusia sakit, bersedih, dan bahkan mati, kampanye berkelanjutan untuk kesadaran akan pentingnya perdamaian, solidaritas, dan persaudaraan antarmanusia, serta ajakan kepada seluruh umat untuk mensyukuri segala nikmat Allah SWT dengan sikap damai dan cinta kasih.

“Bersyukur itu dengan jiwa tidak membenci sesama manusia. Sebab sikap membenci merupakan bentuk pengingkaran atas nikmat-nikmat-Nya. Sebab, bersyukur itu jiwa yang kepenuhan dengan semangat damai,” ucapnya.

Sang dalang dari balik panggung menyahut pembacaan seruan tersebut, melalui lantunan kidung berbahasa Jawa yang disebut sebagai “Donga Rahayu”.

“‘Madyapada cinipta dadya. Pratala agni tirta wreksa sato janma jalanidhi wukir sitengsu bagaskara kartika. Dening kang mengku jagad rat pramudita janaloka swargaloka. Lumaksana netepi darma sowang-sowang. Datan drembu duraka. Ambeg adil paramarta sih sutresna mring titah warata. Parandene karana angkara murka kang kuwawa karya mingkuring akal. Swuh sirna semplah bubrah. Dhuh Gusti kang hakarya gesang. Paringa aksama lumebering pangaksami. Murih tentrem tata tintrim sirna rahayu hayu sagung bawana’,” demikian syair tembang karyanya itu.

Lantunan kidungan tersebut kira-kira mengingatkan manusia bahwa segala yang ada di dunia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan para makhluk mendapatkan titahnya masing-masing bukan untuk serakah, karena ketamakan merusak tatanan.

Salah satu barisan kalimat dalam kidung tersebut, juga ungkapan permohonan ampun manusia kepada Allah SWT atas kesalahan dan dosa selama ini. Harapannya, dunia dengan keanekaragaman hayatinya kembali menjadi baik, terang, dan tertata.

Ungkapan dalang melalui tembang “Donga Rahayu” itu, terkesan menjadi rona atas doa Gus Yusuf.

“Tuhan, tanamkan benih kasih sayang di dada umat manusia. Buatlah manusia tidak lagi mendusta nikmat-Mu. Tancapkan kasih sayang itu,” ungkapnya

Artikel ini ditulis oleh: