Frase ‘orang-orang’ itu sendiri diartikan Misbakhun sebagai orang yang mencitrakan dirinya tidak mengambil keuntungan apa pun dari proses kebijakan. “(Orang-orang yang) selalu mencitrakan dirinya paling bersih di republik ini,” jelasnya.

Ketika ditanya lebih spesifik, apakah orang yang dimaksud adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia pun menjawab dengan diplomatis. “Saya tidak berbicara orang per orang, tapi silahkan (menilai sendiri). Masyarakat tahu bahwa siapa selama ini mencitrakan seakan-akan bersih dari kasus korupsi,” jawab Misbakhun.

Sebagai orang yang saat itu berkuasa, SBY memang diduga mengetahui dan terlibat dalam kasus Century. Dugaan ini semakin menguat sejak ia memilih Boediono sebagai pendampingnya dalam Pipres 2009 lalu.

Mantan Anggota DPR, Djoko Edhi Abdurrahman memandang, putusan praperadilan PN Jakarta Selatan telah memaksa Partai Demokrat untuk mendukung Joko Widodo dalam Pilpres nanti. “(Putusan praperadilan) PN Jaksel bikin Demokrat jadi kecebong. Itu benar itu, ini yang dimainkan Jokowi. Mainkan dikit aja, langsung Boediono dicakup,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, 16 April 2018 lalu.

Istilah kecebong yang digunakan Djoko Edhi merupakan istilah yang digunakan kelompok aktivis untuk menyebut pendukung Jokowi.

Sebagai informasi, beberapa nama yang menjadi tim kecil Pansus Angket Century saat ini diketahui dekat dengan Jokowi. Di antaranya adalah Idrus Marham, Bambang Soesatyo, Maruar Sirait dan M. Romahurmuzzy.

Djoko Edhi menduga, kelompok penguasa telah menggunakan kasus Century sebagai medium untuk mengikat Demokrat dan SBY secara paksa. Namun secara sadar, Djoko Edhi lebih berharap jika nantinya KPK dapat mengusut tuntas kasus ini, termasuk juga menyeret Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Menurutnya, ketika bail out ini terjadi, SBY tengah berada di Washington, AS, untuk melakukan pertemuan negara-negara yang tergabung dalam Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Akibatnya, lanjut Djoko Edhi, Wapres Jusuf Kalla menjadi presiden ad interim.

Adapun Sri Mulyani, menurut Djoko Edhi terlibat karena memang dialah Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KSSK) yang memutuskan final pemberian Fasilitas Pembiayaam Jangka Pendek (FPJB) kepada Bank Century.

Hanya, Djoko berpendapat, kesalahan Sri Mulyani lebih ringan dibanding Boediono karena Sri Mulyani awalnya menyetujui pendanaan terbatas sekitar Rp600 miliar, bukan Rp6,7 trilyun. “KPK harus segera bekerja keras untuk mengungkap semua kejahatan nyata dari skandal Bank Century,” demikian permintaan Djoko Edhi.

Di tempat yang sama, Koordinator Humanika, Andrianto berpendapat jika KPK seharusnya menjadikan Boediono sebagai pintu masuk untuk menyeret nama-nama lain yang juga diduga terlibat dalam kasus Century, yaitu Sri Mulyani dan Darmin Nasution.

Dua nama yang kini menjabat menteri dalam Kabinet Kerja ini masing-masing menjabat sebagai Ketua dan Anggota KKSK. Meskipun kedua nama ini tidak masuk dalam putusan praperadilan, lanjut Andrianto, KPK seharusnya keterlibatan Sri Mulyani dan Darmin dalam proses pencairan bail out Century.

“KPK kan bisa menelusuri kasusnya dari Boediono dulu, dari situ nanti bisa ke mana-mana. Kalau Boediono tidak bisa tersentuh, gimana yang lainnnya, apalagi Sri Mulyani jadi Menteri Keuangan dan Darmin jadi Menteri Ekonomi, kan makin sulit,” ungkap Andrianto kepada Aktual.

Darmin yang saat itu juga menjabat sebagai Dirjen Pajak, disebutnya mengetahui seluk beluk proses penetapan kebijakan terkait bail out Century. “Dia kan dulu anggota KKSK. Dia ikut rapat (KKSK) dan ikut menandatangani proses bail out itu. Ada kok di hasil investigasi bail out century,” tandasnya.

Tidak hanya itu, Andrianto juga beranggapan jika KPK setidaknya dapat menelusuri keterlibatan Boediono dalam kasus lawas, yaitu BLBI.

Saat kebijakan BLBI diputuskan pada 2002 silam, Boediono adalah Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati Soekarnoputri. Dengan demikian, sangat mustahil jika Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM ini tidak mengetahui seluk beluk BLBI.

Hal ini bukan tanpa dasar, mengingat utang dari BLBI masih dibebankan ke dalam APBN hingga 2030. Terlebih, KPK juga masih mengusut kasus ini.

“BLBI ini siapa yang utang, siapa yang ngemplang, siapa yang korupsi, tapi kok dibebankan ke APBN? Kalau dibebankan ke obligor enggak apa-apa, dibebankan ke Salim Group misalkan, dia kan sudah kaya raya jadi enggak apa-apa,” beber Andrianto.

“Nah di situ faktor Boediono juga ada,” sambungnya.

Perkembangan dari kasus BLBI sendiri hanya mengarah pada mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumenggung. Syafrudding telah menjadi tersangka sejak 25 April 2017 dan ditahan pada 21 Desember di tahun yang sama.

Andrianto menilai, ditetapkannya Syafruddin sebagai tersangka pun menimbulkan tanda tanya yang besar, mengingat masih ada 22 obligor BLBI yang tak tersentuh oleh KPK.

Padahal berdasarkan prediksi dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), aset dari para obligor ini telah mencapai angka Rp 1.000 triliun. Angka ini dihitung dari dana BLBI yang diputar oleh para obligator.

“Dan Syarifudin Tumenggung sudah jadi tersangka. Ini juga enggak masuk akal juga, masa Syafruddin menjadi tersangka sendirian dalam kasus blbi?” tanya Andrianto.

Menurutnya, KPK seharusnya mengusut kasus ini dari release and discharge yang berdasar pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002 yang diterbitkan oleh Megawati Soekarnoputri.

Release and discharge merupakan sebuah nota hukum di mana para obligator BLBI diperbolehkan membayar utangnya hanya sampai 20% saja.

Setelah membayar 20% dari utangnya, para obligator ini pun mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) sebagai tanda telah melunasi obligasi BLBI.

“Sementara kita tahu, kenapa ada skl kalau dana utang BLBI itu masih Rp 8 triliun dalam apbn. Kan enggak fair, masa rakyat indonesia yang menanggung, ini kan pasti ada kongkalikongnya,” tutup Andrianto.

 

Oleh: Nebby/Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby