Untuk diketahui, sejak tahun 1990an, PT. Pertamina yang diberi kuasa oleh pemerintah dalam pengelolaan energi menggandeng PT. Karaha Bodas Company (KBC) untuk melakukan berbagai pekerjaan terkait pengusahaan panasbumi dari kawasan Karaha Bodas. Sejak 1995, KBC mulai menggarap beberapa pekerjaan terkait pengembangan panasbumi Karaha. Namun dua tahun kemudian, ketika PT. KBC sudah mengerjakan sejumlah kegiatan, tiba-tiba Indonesia terkena badai krisis moneter sehingga Presiden Suharto dengan Keppres No. 39/1997 menyatakan menangguhkan beberapa proyek, termasuk proyek PLTP Karaha Bodas.
Atas usulan Pertamina dengan berbagai pertimbangan, Presiden Suharto kemudian mengeluarkan lagi Keppres No. 47/1997 yang isinya meneruskan kembali proyek pembangunan termasuk PLTP Karaha Bodas. Dengan Keppres itu, KBC melanjutkan kembali kegiatan proyek Karaha Bodas. Namun, tidak lama setelah itu, pemerintah mengeluarkan kembali Keppres No. 5/1998 yang isinya membatalkan Keppres No. 47/1997 yang artinya proyek PLTP Karaha Bodas harus dihentikan untuk kedua kalinya.
Merasa dirugikan dengan pembatalan itu, PT. KBC kemudian menggugat pemerintah, Pertamina dan PT. PLN ke Arbitrase Internasional di Swiss. Pihak KBC yang sahamnya dipegang oleh empat perusahaan, yakni Caithness Energy LLC, FPL Group Inc., Japan Tomen Power, dan PT Sumarah Daya Sakti (mitra lokal), mengajukan klaim ganti rugi. Besarannya, US$ 93,1 juta untuk eksplorasi dan pembangunan proyek serta US$ 512,5 juta sebagai kompensasi atas rencana kehilangan keuntungan.
Celakanya, pihak Arbitrase memenangkan gugatan KBC dan mewajibkan PT. Pertaminan dan PT. PLN membayar ganti rugi kepada KBC sebesar US$ 261 juta. Rinciannya, US$ 111.100.000 ganti rugi untuk biaya yang diderita KBC, US$ 150 juta untuk laba yang seharusnya diperoleh KBC, dan US$ 66.654,92 untuk ongkos yang dikeluarkan KBC terkait arbitrase. Semua ganti rugi tersebut ditambah lagi dengan bunga 4% per tahun terhitung sejak 1 Januari 2001 sampai lunas.
Putusan Arbitrase itu pun mengakibatkan aset Pertamina di Bank of America dan Bank of New York dibekukan. Konon akibat putusan Arbitrase tersebut, Indonesia telah menghabiskan anggaran sebesar 319 juta dolar AS ke KBC untuk klaim ganti rugi.
Setelah lama terkatung-katung usai dihantam krisis moneter dan kalah di Arbitrase Internasional, pengusahaan panasbumi Karaha Bodas di wilayah perbatasan Kabupaten Tasikmalaya-Garut, Jawa Barat, dilanjutkan kembali sejak 2009 lalu. Hasilnya menggembirakan, panasbumi dari kawasan hutan Talagabodas tersebut bisa diekspolitasi dan mampu menghasilkan energi listrik berkapasitas 30 MW. (ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka