Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah mengecam kebijakan perencanaan anggaran pemerintah terkait subsidi.

Kendati setiap tahun dibahas bersama Banggar, tapi faktanya selalu lebih tinggi anggarannya di akhir tahun. Sehinga muncul istilah subsidi kurang bayar.

“Ini bukti perencanaan pemerintah amburadul. Sehingga setiap tahun selalu ada subsidi kurang bayar. Dan kurang bayarnya itu tidak sedikit,” tegas Said kepada Aktual.com, Selasa (20/9).

Said menyebut angka subsidi kurang bayar yang setiap tahun harus dibayarkan kas negara ke BUMN. Seperti buat PT Pertamina (Persero) sebesar Rp22,2 triliun, untuk PT PLN (Persero) sebesar Rp18 triliun, dan untuk PT Pupuk sebesar Rp 7,4 triliun.

“Dan itu hampir setiap tahun terjadi seperti itu,” tegasnya.

Kondisi itu terjadi, kata Said, karena adanya data yang tidak tepat. Masing-masing lembaga punya data dan tidak mengacu ke data Badan Pusat Statistik (BPS).

“Jadi sebenarnya ada berapa puluh juta orang miskin yang mendapat subsidi ini? Padahal faktanya sesuai survey BPS hanya 28,01 juta jiwa yang miskin. Tapi untuk kasus subsidi PLN saja justru menyasarnya ke rumah tangga sasaran (RTS),” papar dia

Data yang selama ini digunakan PLN, penerima subsidinya sebanyak 45 juta RTS. Kata dia, kalau begitu berarti yang miskin itu 180 juta orang. “Itu data dari mana, berarti kan memang datanya asal-asalan. Ini yang mau kita luruskan,” jelasnya.

Dengan memperbaiki data, kata dia, Banggar bukannya melarang pemerintah menyalurkan subsidi. “Tapi mengarahkan subsidi agar lebih tepat sasaran. Bukan menghapusnya. Itu saja,” tegas dia.

Apalagi memang jika setiap tahun selalu ada istilah kurang bayar, maka anggarannya akan lebih banyak lagi. Dan jumlah penerimanya pun pasti lebih banyak lagi. Ini terjadi karena datanya amburadul.

Said juga tidak mau menerima, adanya istilah subsidi kurang bayar itu karena adanya hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seperti yang disebutkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Suahasil Nazara.

“Dalih audit BPK sudah tidak tepat lagi. Makanya dari awal harus dengan data yang akurat dong. Bahkan kalau perlu perencanaannya itu harus juga diaudit agar hasil auditnya tidak ada subsidi salah sasaran lagi. Jangan hanya di hilir yang diaudit, tapi juga di hulunya juga harus diaudit,” pungkas dia.

Untuk subsidi listrik sendiri pemerintah menganggarkan dalam Rancangan APBN 2017 mencapai Rp 48,6 triliun atau turun sedikit dari yang dianggarkan pada APBN Perubahan 2016, yaitu sebesar Rp 50,7 triliun. Rencananya, siang ini pembahasan serupa akan dilanjutkan dengan pemerintah di Banggar DPR.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka