Udara cerah menyambut kota Cape Town, Afrika Selatan. Siang selepas dzuhur, ratusan muslimin berkumpul di Masjid Jumua’ Cape Town. Sebuah peristiwa besar terjadi. Penguburan seorang ulama besar yang meninggal Ahad, 1 Agustus 2021 lalu. Ulama itu bernama Shaykh Abdalqadir as sufi. Beliau dikebumikan di halaman belakang Masjid Jumu’a Cape Town. Masjid yang berada di pusat kota Cape Town.

Meninggalnya Shaykh Abdalqadir as sufi, mendadak menjadi duka internasional. Di Granada, Spanyol, ratusan muslimin langsung berkumpul menggelar pembacaan Surat Yasin bersama. Di Sevilla juga demikian. Di Norwich, Inggris, muslimin juga langsung berkumpul di bawah bimbingan Shaykh Abdalhaqq Bewley, ulama dari Inggris. Mereka menyelenggaran doa bersama, membaca Surat Yasin juga. Di belahan bumi barat, berita duka itu menyelimuti dalam. Di belahan timur, juga demikian.

Muslimin Malaysia dan Indonesia, menggelar pembacaan Surat Yasin bersama-sama virtual meeting. Di Maroko, doa juga berlangsung dikhususkan pada wafatnya ulama besar itu. Seorang mufti Negara Chechnya, memberikan belasungkawa dan akan menggelar sholat Ghaib bagi meninggalnya Shaykh Abdalqadir as sufi. Dunia seolah kehilangan ulama yang sangat berarti, malam itu. Di Jakarta, Zawiyya ar Raudhah juga menggelar Sholat Ghaib dan doa atas meninggalnya ulama dari Skotlandia itu.

Siapa sebenarnya Shaykh Abdalqadir as sufi?

Dia lahir di Ayr, Skotlandia, tahun 1930. Nama aslinya Ian Dallas. Dia berasal dari keluarga ‘Dallas’ di Skotlandia. Dallas termasuk klan papan atas di negeri itu. Tahun 1960-an, Ian Dallas melanglangbuana ke Maroko. Dia sempat berburu tentang Islam di London, Inggris. Ketika usia belia, kisaran 30-an. Dallas telah tertarik masuk Islam. Dari Inggris kemudian terbang ke Maroko. Di sana dia hinggap Masjid Qarawiyyin, kota Fez, Maroko, yang tersohor. Di Masjid itulah Dallas kemudian bersyahadat di tangan Imam Khatib Masji Qarawiyyin, Shaykh Abdalkarim Dau’di yang disaksikan juga oleh Alal’al Fasi, pendiri Partai Isqitqlal di Maroko.

Selepas itu, Dallas mengebut dalam mempelajari Islam. Dia berguru pada seorang ulama besar di Meknes, Maroko, yakni Shaykh Muhammad Ibn Al Habib. Dallas semula berupaya keras mencari sang guru. Pertemuan awal dengan gurunya sungguh syahdu. Dallas mencoba mencari Shaykh Muhammad ibn Al Habib di zawiyya-nya. Tapi tak ketemu, karena sang Mursyid itu telah keburu pergi.

Kemudian dia berusaha menyusulnya, ke tempat dimana Mursyid itu memberikan tausiah. Tapi begitu sampai, ternyata sang Murysid sudah pergi. Dallas tak putus asa. Beberapa tempat sempat terlewat. Alhasil dia menunggu di tempat terakhir Mursyid itu bertamu. Eh, tak beberapa lama kemudian, sang Mursyid itu kembali. Pada muridnya yang membawa mobil, Mursyid itu berkata, “Ayo kita kembali ke tempat tadi, karena ada yang tertinggal,” ujarnya. Nah, ternyata begitu kembali, disitulah Shaykh Muhammad ibn Al Habib menemukan Ian Dallas.

Dari situlah perguruan Dallas dengan gurunya dimulai. Dia belajar tariqah dari Shaykh Muhammad ibn Al Habib. Dallas tentu berkulit putih. Matanya biru. Bule asli. Bagi kalangan muslim Maroko, murid berkulit putih tentu dirasa asing. Karena memang suatu kali, Shaykh Muhammad ibn al Habib meminta dalam doanya, “Ya Allah berikanlah hamba murid yang ‘kencingnya berdiri’”.

Di situlah murid-murid ‘bule’ berkulit putih mulai berdatangan berguru pada Shaykh Muhammad ibn al Habib. Dallas itulah yang membuka kran banyaknya murid Shaykh Muhammad Ibn al Habib dari kalangan bangsa Eropa. Dallas kala itu bersama sidi Abdalaziz Redpath, Wali Allah yang juga berbangsa Skotlandia, yang kemudian menetap dan meninggal di Amerika Serikat. Menebarkan Islam di negeri Paman Sam.

Dari Mursyidnya itulah, Dallas kemudian diberi nama muslim: ‘Abadalqadir as sufi.’ Gelas ‘as sufi’ tentu ini menunjukkan kebanggaan. Karena di fase mu’tazilah dulu, fase kala muslimin mengadopsi filsafat Yunani, jamak orang menambatkan namanya dengan ‘al mu’tazili’, pertanda dia seorang mu’tazilah. Nah, di fase kini, jaman modernitas dan materialisme, filsafat yang menyeruak di barat, Dallas tanpa ragu menyematkan namanya dengan ‘as sufi.’ Pertanda dia memang seorang sufi. Bukan kaum rasionalis atau filosof, yang sejak dulu antitesa dari sufisme.

Lakon hidupnya memang berjalan demikian. Abdalqadir as sufi tancap gas dalam mendalami Islam. Di Meknes itulah beliau belajar pada tarqidah Qadiriyya Shadziliyya Habibiyya, di bawah Mursyid Shaykh Muhammad Ibn Al Habib. Bisa dibilang, Abdalqadir as sufi menjadi salah seorang murid kesayangan sang Mursyid. Karena beliau jamak mengambil pelajaran dengan kantong yang tak bolong. Pesan pengajaran dari gurunya, masuk dalam laku kehidupannya.

Suatu ketika, Abdalqadir as sufi melakukan safar ke Libya. Di sana dia menemui seorang Mursyid tariqah Dharqawiyya Alawiyya, Shaykh Al Fayturi Hamuda dari Bengazhi, Libya. Saat itulah Shaykh Al Fayturi membawa Abdalqadir as sufi ke dalam khalwat. Selepas itu, beliau berkata padanya, “Sekarang tiada tangan di atas tanganmu.” Dan Abdalqadir as sufi pun mendapatkan idzhin ‘Shaykh’ dari Shaykh Al Fayturi Hamuda tersebut.

Dari Shaykh Al Fayturi itulah, beliau mentitahkan kepada Shaykh Abdalqadir as sufi tentang bergabungnya dua cabang tariqah, Dharqawiyya Habibiyya dan Dharqawiyya Alawiyya menjadi satu. Di tangan Shaykh Abdalqadir as sufi, maka namanya kembali menjadi ‘Qadiriyya Shadziliyya Dharqawiyya.’

Sebelumnya, Shaykh Muhammad ibn Al Habib memberi ‘suluk’ agar Shaykh Abdaqadir as sufi kembali ke Eropa. Ke kampung asalnya sembari menebarkan Islam. Sebagai murid, memang mulanya Shaykh Abdalqadir as sufi sangat berat ‘meninggalkan’ gurunya. Tapi Sang Mursyid itu berkata, “Jika engkau kembali ke Eropa, maka engkau akan melihatnya,” katanya. Pesan inilah yang diikuti Shaykh Abdalqadir as sufi.

Dia pun mulai melakukan dakwah ke bangsa-bangsa barat. Kisaran tahun 1975-an, Shaykh Abdalqadir as sufi menetap sementara di Spanyol. Disitulah beliau menginisiasi berdirinya Masjid Jami’ di Granada, Spanyol. Di wilayah itu, sejak reconquesta (pembalasan dendam), abad 14 lalu, Masjid dianggap hal yang asing. Masa reconquesta itulah muslimin Andalusia dipaksa keluar Granada atau boleh menetap dengan syarat memeluk agama Nasrani. Maka, muslimin asli Spanyol pun berupaya menghadirkan lagi sebuah Masjid besar.

Shaykh Abdalqadir as sufi, menunjuk sebidang tanah persis di seberang Istana Al Hambra, untuk berdirinya masjid itu. Tapi itu tak mudah. Pertentangan hebat datang dari Gereja Katolik dan kaum sosialis Spanyol. Alhasil untuk mendapatkan ijin dari pemerintah Spanyol, diperlukan masa 25 tahun. Tapi perjuangan kemudian berbuah. Le Mezquita de mayor de Granada kemudian berdiri di perkampungan Al Baycyn, Granada, Spanyol. Inilah buah dakwah Shaykh Abdalqadir as sufi di negeri Catalan itu.

Ketika di Inggris, beliau juga berdakwah kencang. Di sana kemudian berdiri Masjid di Norwich City, Inggris. Masjid yang menjadi sentral kegiatan muslimin di kota itu. Suatu ketika di Hotel Hyde Park, London, seorang pemimpin ‘wahabbi’ dari Arab, yang juga Menteri Urusan Islam, Saudi Arabia, Shaykh Abdullah Ahl al Mahmud, di hadapan ratusan sarjana Islam barat, “Shaykh Abdalqadir adalah pemimpin semua umat Islam Eropa. Tapi beliau haruslah dipastikan mempunyai aqidah yang betul,” ujarnya.

Tapi kemudian Shaykh Abdalqadir as sufi menjawab hal itu. Dia mengatakan agar kaum muslimin kembali mengikut pada Mahdhah Amal Ahlul Madinah. Ini pengajaran tiga generasi awal Islam, yang merupakan induk dari semua mahdhab. Itulah generasi salafuh shalih, tapi bukan versi wahabbi. Pengajaran inilah yang kembali diluncurkan Shaykh Abdalqadir as sufi. Beliau merekomendasikan tiga kitab, Al Muwatta-nya Imam Malik, As Shifa-nya Qadi Iyad dan tafsir Jalalain untuk bekal dalam mempelajari Islam.

Dari situlah Shaykh Abdalqadir as sufi memberikan pengajaran agar muslimin kembali pada Tauhid yang benar. “Karena hampir satu abad belakangan, muslimin diberikan Tauhid yang mengerikan,” ujarnya. Tauhid versi Wahabbi dan modernis yang kini jamak merambah kaum muslimin. Alhasil muslimin kehilangan Dinul Islam. Karena berubahnya Tauhid, berubahnya syariat Islam. Di tambah kini dominasi besar berasar dari barat, yang menggunakan filsafat untuk membuat ‘Tauhid’ baru.

Ateisme. Filsafat ini yang melahirkan modernitas dan posmodernisme, yang berujung pada nihilisme. Inilah berbuah pada kapitalisme, yang menurut Shaykh Abdalqadir as sufi sebagai sebuah penyakit ‘psikosis.’ Dalam kemusyrikan yang melanda itulah kemudian muncul riba, zina, judi, dan segala penyakit lainnya yang dilegalkan secara hukum rasio manusia. Inilah wajah peradaban manusia kini.

Shaykh Abdalqadir as sufi pun memberikah lagi pengajaran tassawuf yang mumpuni di era modernitas kini. Tassawuf, yang merupakan antitesa dari filsafat, memberikan jalan keluar dari penyakit itu semua.

Kurun waktu hidupnya, beliau banyak menuliskan buku-buku bermutu. Beliau menggunakan dua nama dalam penulisan bukunya: Ian Dallas dan Shaykh Abdalqadir as sufi. Dalam kitabnya yang menggunakan nama “Shaykh Abdalqadir as sufi”, beliau mengutarakan tentang penyakit jaman yang melanda kaum muslimin, dan kembalinya kepada model tradisionalis Islam. Model yang membuat kejayaan Islam. Karena modernitas ini telah membawa muslimin pada “lubang biyawak”.

Dalam bukunya yang menggunakan nama “Ian Dallas”, beliau membawa kepada kaum Eropa agar kembali pada era klasik, era fitrah. Membedah bagaimana suasana Eropa yang berada dalam kehidupan fitrah, sebelum dilanda modernisasi. Mulai dari Romawi klasik, Eropa klasik hingga rusaknya barat oleh modernitas. Dari buku-bukunya, bisa dilihat bagaimana upaya Shaykh Abdalqadir as sufi membawa umat manusia kembali pada Tauhidullah, dengan tassawuf sebagai elemen utama.

Dari situlah beliau mendedah habis, wajah peradaban kini, penyakitnya hingga jalan keluarnya. Master piece bukunya, keluar tahun 2005 dengan judul ‘The Entire City.’ Buku yang melebihi kaliber ‘Politeia’-nya Aristoteles, ‘Republik’nya Plato, “Al Madhinatul Fadhillah’-nya Al Farabi, sampai “Il Principe’-nya Machiavelli, bahkan ‘Leviathan’-nya Thomas Hobbes. Karena buku ‘The Entire City’ berisikan pembedahan jaman kini, periodesasi wajah peradaban sejak era Romawi hingga masa kini, dan jalan keluar menuju peradaban baru. Buku yang ditulis dari sosok Mursyid yang mumpuni dalam membaca wajah peradaban jaman.

Tapi sebagai sufi, memang Shaykh Abdalqadir as sufi tak pernah berhenti. Beliau terus berdakwah tanpa henti. Selepas telah mengembangkan Islam di Eropa, beliau memasuki Afrika Selatan, yang merupakan negeri ‘common wealth’ di bawah imperium Inggris. Di sana, kehadirannya sempat di tentang oleh rezim apartheid awal. Tapi Shaykh Abdalqadir as sufi tak menyerah. Dakwahnya tetap berlangsung. Dan ratusan muslimin berbondong-bondong menjadi muridnya di Cape Town, Afrika Selatan. Dan menyebar hingga Johannesburg, Soweto, Pretoria hingga belantara Afrika lainnya.

Di Cape Town itulah beliau menjadi pendiri berdirinya Masjid Jamik Cape Town, yang berada di pusat kota. Berada di Jalan Long Street, Cape Town, tak jauh dari bar-bar, diskotik di kota itu. Masjid Jamik Cape Town inilah menjadi sentral dzikir tahunan murid-murid Shaykh Abdalqadir as sufi dari berbagai belahan dunia saban tahun. Itu yang dikenal dengan nama ‘Moussem.’

Sejumlah murid Shaykh Abdalqadir as sufi juga meneruskan upaya dakwahnya. Shaykh Nafia Perez dari Spanyol, berhasil berdakwa ke Mexico, di wilayah Chiapaz. Di sana berdiri suatu kampung muslim, dari kalangan kaum Mexico asli. Kini beliau juga merambah ke Kuba dan wilayah Amerika Selatan lainnya. Shaykh Abdalhaqq Bewley dan istrinya, Aisha Bewley menjadi ulama besar di Inggris dan makin menebarkan Islam di tanah Inggris. Dalam waktu tak berapa lama lagi, Islam akan menjadi agama nomor satu di negeri Inggris. “Negara yang paling lama memusuhi Islam,” kata Shaykh Abdalqadir as sufi.

Kemudian Shaykh Umar Ibrahim Vadillo, faqih nomor wahid yang dimiliki muslimin kini dalam bidang muamalat, berhasil mengadirkan kembali alat tukar Dinar emas dan Dirham perak di abad kini. Yang tujuan awalnya demi mengembalikan rukun Zakat, yang telah dirusak oleh kalangan modernis Islam. ‘Dari Zakat-lah Islam akan kembali,” demikian Shaykh Abdalqadir as sufi mengajarkan.

Namun, tahun 2014, Shaykh Abdalqadir as sufi mengeluarkan statement dirinya ‘dissacociate’ pada gerakan dinar emas dan dirham perak. Karena terkesan gerakan dinar dirham malah menjadi tujuan utama. Bukan merestorasi rukun Zakat, sebagaimana diajarkan dan diprogram olehnya sejak awal.

Di kalangan pejabat dunia, nama Shaykh Abdalqadir as sufi memang tak terdengar asing. Raja Hasan II dari Maroko, sebelum meninggal sempat beberapa kali menemuinya. Karena Shaykh Abdalqadir as sufi menyarankan agar beliau kembali melakukan penarikan Zakat dengan dinar emas dan dirham perak. Mahathir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia, merupakan sosok yang mahfum dengan beliau. Presiden Turki, Erdogan, juga acapkali bertemu dengan Shaykh Abdalqadir as sufi. Sejumlah pemimpin negeri-negeri muslim dunia, tampak sangat antusias bertemu dengan beliau.

Sejumlah degelasi dari Bosnia, Uighur China, Albania, Algeria, Chechnya, Kelantan Malaysia dan lainnya, juga berbondong-bondong sempat menemui Shaykh Abdalqadir as sufi.

Ahad, 1 Agustus 2021 lalu, beliau meninggal dunia. Wafat di kediamannya di Dallas House, Cape Town, Afrika Selatan. Beliau dikebumikan di halaman belakang Masjid Jumu’a Mosque, yang didirikannya di Cape Town, Afrika Selatan.

Kini murid-murid beliau tersebar di berbagai negara. Mulai dari Inggris, Spanyol, Swiss, Skotlandia, Amerika Serikat, Perancis, Afrika Selatan, Botswana, Maroko, Indonesia, Malaysia, dan lainnya.

Sewaktu dulu, beliau telah dipesankan oleh Mursyidnya, “Jika engkau kembali ke Eropa, maka engkau akan melihatnya.” Dan memang kemudian Shaykh Abdalqadir telah menjadi Mursyid kalangan dunia. Beliau rela kembali ke Eropa, dan berdakwah mengajarkan tassawuf di sana dan kembalinya Dinul Islam.

Semoga Allah Subhanahuwataala memberikan keberkahan bagi alam kuburnya. Semoga Arwahnya mendapatkan cucuran rahmat dari Allah Subhanahuwataala. Amin.

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq