Jakarta, Aktual.com – Sosial media begitu riuh dengan hasil survei salah satu lembaga survei nasional berkaitan pilpres 2019. Padahal belum begitu lama berselang pendaftaran Capres Cawapres, lembaga ini sudah mencoba mencuri start dengan merilis hasil survei lebih dahulu, beberapa hari lampau.

Sebenarnya lembaga survei atau lembaga statistik pada umumnya tidak memerlukan teori “siapa cepat dia dapat” akan tetapi benar dan akuratnya sebuah data. Namun karena ini semua berkaitan dengan perihal politik maka berlomba-lomba mem-publikasi-kan menjadi penunjang rejeki datang duluan.

Hujat menghujat lembaga pun bertebaran di berbagai grup sosial media, menandakan suksesnya lembaga tersebut memperoleh perhatian. Lantas muncul pertanyaan, apakah lembaga survei politik pun membutuhkan citra? Jelas tentu saja, jika tidak untuk apa penghargaan-penghargaan nasional internasional terus dikejarnya.

Saya termasuk orang yang mempercayai data, riset dan statistik, karena dari situlah semua program dievaluasi, direncanakan, dan dilaksanakan dengan tepat, efektif dan efisien. Sebagai orang awam pun jangan difikir tidak memerlukan yang namanya data, riset, dan statistik. Bahkan setiap orang pun memerlukan dan menggunakan dengan skala dan kebutuhan masing-masing. Dan di alam demokrasi, dalam perhelatan politik, citra, dan kepentingan nasional, saya meyakini masyarakat biasa pun mampu melihat data, riset, dan statistik, tidak terkecuali data tersebut merupakan survei politik sekalipun (meski dengan skala seadanya).

Terlepas dari riuh ramai hujatan terhadap lembaga survei, masyarakat biasa pun mampu menilai. Pertama, masyarakat sudah cukup paham pola kinerja lembaga survei yang akan tetap membutuhkan klien “tuan” dibalik penyajian data berbungkus “netralitas”. Kedua, terkait data dan hasil riset, masyarakat pun mampu untuk menerima dan memilah-milah, benar tidaknya, akurat melesetnya, atau bahkan abal-abalnya sebuah sajian yang diberikan lembaga survei. Ketiga, di alam demokrasi, semua hal tersebut sah-sah saja, selagi belum ada lembaga penjamin mutu dan pengawasan lembaga survei maka lembaga survei akan tetap eksis dengan caranya masing-masing, liar bahkan berjamuran.

#Pertarungan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi

Sajian survei yang dilaksanakan sedari 12-19 Agustus tersebut menyimpulkan beberapa poin yang sebenarnya masyarakat awam pun menilai sama. Penilaian-penilaian sama tersebut tentunya tidak sampai pada samanya angka statistik yang diberikan, namun lebih pada gambaran umum yang tersaji tentu saja. Antara lain: Pertama, masyarakat umum pun mengetahui akan elektabilitas Jokowi yang lebih tinggi dibandingkan Prabowo dikarenakan Jokowi merupakan petahana saat ini. Berkaitan elektabilitas tentu saja tidak menyertakan acceptabilitas (penerimaan publik) yang ada, itu poin lain. Kedua, kesimpulan bahwa Ma’ruf Amin menurunkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf sudah terbaca sejak awal, kekecewaan terbesar para Ahokers memberikan efek signifikan karena merekalah _die hard_ Jokowi.

Menarik untuk dicermati pemilihan Ma’ruf Amin ini memberikan dampak banyak hal. Egoisnya Partai Politik Koalisi menendang Mahfud MD merupakan kesalahan besar, lebih-lebih jika Jokowi kemudian kembali menawarkan posisi Ketua Tim Pemenangan kepada beliau, tentu itu sebuah penghinaan. Sudah tepat permohonan maaf yang disampaikan Jokowi atas ulah petinggi-petinggi Parpol lingkaran Jokowi. Cara permainan ini tentu merugikan Jokowi dan mengecewakan beberapa Partai terlebih tidak akan memberikan dampak elektoral sama sekali terhadap mereka. Golkar, Nasdem, Perindo, Hanura, terlebih PSI akan hilang. Lantas PPP dan PKB mendapatkan lonjakan? Belum tentu.

Mahfud MD effect. Perkiraan pemilihan Ma’ruf Amin akan menjaga suara NU nampaknya tidak terbukti, muncul gerakan haram pilih Jokowi di Madura patut dicermati. Belum lagi efek dari curhatan Mahfud MD di ILC memberikan gambaran bagaimana ruang-ruang politik membutakan cara permainan petinggi-petinggi nahdiyin (tidak semuanya). Kita patut membaca sebuah disertasi yang dikeluarkan salah seorang doktor UGM berkaitan *Politik Nahdiyin * untuk ini.

Kembali kepada sajian yang diberikan lembaga survei tadi, bahwa: Ketiga. Masyarakat umum pun mengetahui bahwa Sandi memberikan efek elektoral terhadap elektabilitas pasangan Prabowo-Sandi meski lembaga tersebut memberikan tambahan kata “sedikit” sebagai bumbu kesimpulan.

#Gelembung-Gelembung Citra vs Kerja Nyata

PR sebuah Pemerintahan tentu pada wujud nyata dari kerja dan pemenuhan janji yang diumbar selama kampanye sebelumnya. Disinilah tugas berat Jokowi untuk memberikan bukti “bersih, merakyat, kerja nyata”. Kita akan bahas tagline tersebut di lain segmen dengan lebih mendalam dalam pembedahannya.

Pertanyaan sederhana saat ini apakah dampak kinerja ekonomi Pemerintahan dirasakan secara nasional dan dinikmati oleh rakyat secara umum dalam satu kata, sejahtera? Nampaknya tidak, yang jelas terlihat adalah hiburan-hiburan Presiden dalam setiap permasalahan bangsa. Liputan pribadi menjadi suguhan yang jauh lebih banyak harus “dimakan” masyarakat hingga mati kekenyangan di Papua dan Maluku. Dagelan politik yang ada menggoyang peraduan rakyat seribu masjid hingga rata dengan tanah.

Mengapa citra yang ada seakan jauh dari realita dan tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat “wong cilik”. Karena bagaimana pun itu hanyalah gelembung-gelembung citra yang kosong, siap meletus kapan saja tanpa harus disentuh sekalipun.

Gelembung-gelembung citra yang jauh dari kenyataan, bahwa krisis di depan mata dibungkus dengan sajian “aku rapopo”. Tentu saja kita menyayangkan hal tersebut maka untuk mengingatkan Pemerintah mari seluruh elemen membuat evaluasi kinerja yang ada. Maka dari hal tersebut kita akan menemukan kesimpulan layak tidaknya Pemerintah yang ada saat ini dilanjutkan. Tentunya dengan data dan kajian yang representatif sesuai dengan keadaan agar menjadi sajian statistik yang menarik dan bermanfaat bagi semuanya, bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dibandingkan sekedar membahas sajian-sajian elektabilitas politik yang hanya berdampak pada lembaga survei dan citra kandidat belaka. Mari coba kita tengok keadaan bangsa sesungguhnya saat ini. Masyarakat harus cerdas dan jangan buta oleh karena gelembung-gelembung citra yang ada.

Sayangnya jika lembaga survei menyajikan keadaan ekonomi bangsa yang mengkhawatirkan hanya akan bertuan rakyat, tidak mendapatkan pragmatisnya sebuah riset selain idealitas belaka. Maksud saya ya karena pekerjaan lembaga survei memanglah soal citra dan elektabilitas maka maklum sajalah jika bertuan pada klien yang ada.

Meski jangan men-generalisir seluruh hasil lembaga survei pastilah buruk dan palsu, mari kita ambil hikmahnya saja bahwa masyarakat pun harus cerdas dan jeli dalam menilai akuratnya sebuah sajian. Data tetaplah data, riset tetaplah riset, statistik tetaplah statistik, masyarakat umum harus pandai melihat kesimpulan-kesimpulan “nakal” sebuah lembaga survei yang menggoda untuk dipinang calon klien mereka. Namanya juga usaha.

Oleh: Barri Pratama (Wakil Ketua Umum PP KAMMI 2017-2019.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta