Jakarta, Aktual.com – Nurhadi Putra, saksi dalam persidangan perkara KTP-elektronik (KTP-e) untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong mengaku menerima amplop dan parsel dari Dedi Prijono, kakak dari Andi Narogong.
Nurhadi merupakan mantan pejabat pembuat komitmen Kegiatan Pembinaan/Pembuatan/Pengembangan Sistem, Data, Statistik dan Informasi dan Kegiatan Pembiayaan Lain-lain Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI 2009.
“Anda terima parsel dan amplop,” tanya Ketua Majales Hakim Jhon Halasan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (20/10).
“Betul yang mulia. Tahun 2009 dan 2010,” kata Nurhadi.
Hakim Jhon pun mengkonfirmasi kepada Nurhadi pada 2009 dan 2010 sudah ada larangan dari KPK bagi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menerima parsel.
“Mohon maaf, saya salah yang mulia karena bagi saya itu kebaikan hati jadi saya terima. Dua kali terima amplop dari Pak Dedi,” kata Nurhadi.
Nurhadi pun menyatakan bahwa dirinya menerima amplop dari Dedi itu pada akhir 2009 dan akhir 2010.
“Isinya berapa,” tanya Hakim Jhon.
“Saya tidak tahu persis, sekitar Rp20 juta dua kali dari Dedi. Dua-duanya sudah saya kembalikan ke KPK,” jawab Nurhadi.
“Dedi kok sudah kaya Sinterklaas bagi-bagikan duit. Urusannya apa,” tanya Hakim Jhon kembali.
“Pada waktu itu saya kira kebaikan hati dari Pak Dedi karena pada waktu pengadaan mobil itu sudah akhir-akhir. Saya akui bersalah saya berikan keterangan yang sebenarnya kepada penyidik. Saya salah, saya akui bersalah,” kata Nurhadi.
Nurhadi menjelaskan bahwa pada 2008, 2009, dan 2010 di BPN terdapat pekerjaan pengagaan mobil layanan yang melibatkan Dedi Prijono.
“Tahun 2008 kami ada pekerjaan di BPN, pekerjaan pengadaan mobil layanan dan kebetulan Pak Dedi yang melakukan pengerjaannya. Jumlah persisnya saya lupa 20 sampai 30 mobil. Tahun 2009 juga ada pekerjaan pengadaan mobil layanan. 2008, 2009, dan 2010 PT-nya beda-beda tetapi orangnya sama,” tuturnya.
Andi Narogong didakwa mendapatkan keuntungan 1,499 juta dolar AS dan Rp1 miliar dalam proyek pengadaan KTP-Elektronik (KTP-E) yang seluruhnya merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka