Setelah tanda tangan, tergugat I mentransfer uang ke penggugat III sebesar Rp5,5 miliar, dan langsung dipotong Rp1,7 miliar. Seiring dengan berjalannya waktu, penggugat I hendak memperpanjang pinjaman, tapi tergugat I mengatakan, bahwa dia sudah membeli rumah obyek sengketa dan bukan pinjaman.
“Padahal komunikasi penggugat I dengan tergugat II dan tergugat I, tergugat IV menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan adalah pinjaman. Bahkan ketika penggugat I hendak melunasi pinjaman juga dipersulit komunikasinya. Dan diketahui kemudian, Sertifikat Hak Milik atas obyek sengketa telah dibalik nama dari nama penggugat II menjadi nama tergugat I, tanpa adanya pemberitahuan atau peringatan kepada penggugat I atau penggugat II, di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur (Turut Tergugat),” ujar Yayan.
Karena tidak ada titik temu, antara para penggugat dengan tergugat I dan tergugat II, maka pada tanggal 10 November 2021, penggugat II membuat Laporan Polisi di Bareskrim Polri, dengan terlapor tergugat I dan kawan-kawan. “Bahwa kemudian obyek sengketa diketahui telah beralih kepemilikan dari tergugat I menjadi milik tergugat III (Putri Zulkifli Hasan), yang diketahui juga bahwa obyek sengketa telah direnovasi, dan ketika ditanyakan ke turut tergugat diketahui apabila obyek sengketa telah menjadi milik tergugat III,” jelas dia.
Menurut Yayan, perbuatan para tergugat merugikan kliennya, karena apabila obyek sengketa dijual akan menghasilkan uang senilai kurang lebih Rp30 miliar. Karena itu, selain melapor polisi, pihaknya juga mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin