Jakarta, aktual.com – PT Indofarma Global Medika, CSY, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. CSY tidak terima dengan penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

CSY sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan PT Indofarma Tbk dan Anak Perusahaan Tahun 2020-2023. Ia ditetapkan tersangka oleh Kejati Jakarta pada Kamis (19/9/2024) lalu.

Tim kuasa hukum CSY, Hendrikus Hali Atagoran, mengungkapkan, sidang praperadilan perdana hari ini mengagendakan pemeriksaan berkas dan pembacaan permohonan. Ia menyayangkan pihak termohon, yakni Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, tidak hadir dalam sidang perdana.

“Pihak Termohon tidak hadir pada sidang pertama, sidang ditunda minggu depan dengan peringatan,” tegas Hendrikus didampingi Agung Aprizal , joni prasetyo dan Alfeus jabebun dari Kantor Hukum Agus Widjajanto and Partner, dalam keterangannya kepada wartawan usai sidang, Senin (14/10/2024).

Pihaknya berharap Kejati DKI Jakarta bersikap kooperatif dengan menghadiri jalannya persidangan sehingga akan diketahui duduk perkara penetapan kliennya dalam kasus tersebut. Sebab CSY diyakini tidak seperti disangkakan penyidik Kejati DKI.

“Pihak Termohon akan dipanggil dengan peringatan, kalau pada sidang pekan depan tidak datang juga,” kata Hendrik.

Penyidik Kejati diketahui menetapkan tiga tersangka yakni Direktur Utama PT Indofarma Tbk periode 2019-2023, berinisial AP, Direktur PT Indofarma Global Medika (IGM) periode 2020-2023 berinisial GSR, dan Head of Finance IGM berinisial CSY.

Ketiga tersangka tersebut diduga melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 371 miliar di Indofarma. PT IGM sendiri merupakan anak usaha dari PT Indofarma Tbk.

Diungkapkan Hendrik, penetapan tersangka dan penahanan CSY tidak hanya terpaku pada obyek apa yang diatur dalam KUHAP dalam praperadilan yang akan ajukan. Lebih dari itu adalah membangun peradaban baru dalam khasanah keadilan ke depan. Dalam sistem peradilan pidana modern harus sesuai dengan due proces of law, yang telah diratifikasi dan diterapkan dalam negara hukum di seluruh dunia.

Dimana sesuai putusan MK, sebelum menetapkan status tersangka bagi terlapor tindak pidana harus melalui proses pemeriksaan calon Tersangka terlebih dahulu, untuk bisa menetapkan sebagai tersangka, dan pihak kejaksaan tinggi DKI jakarta, tidak melalui prosedur tersebut , dan ini menjadi kewenangan dalam praperadilan

Sebab penerapan pasal dalam Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurutnya tidak sesuai. Diduga ada ketidakakuratan dalam penerapan pasal yang bisa jadi masuk dalam kasus delik pidana unum dengan delik aduan, namun dimasukkan dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor).

Dimana anak usaha dan cucu usaha BUMN sesuai Pasal 11 m, UU BUMN dan keuangan negara, masuk dalam kualifikasi Perseroan Terbatas yang tunduk pada UU Perseroan terbatas, tidak masuk dalam kualifikasi kerugian negara. Dan ini harus diuji melalui frasa baru dalam kewenangan praperadilan .

“Klien kami hanya head manager keuangan yang tidak punya kewenangan kebijakan dalam mengambil keputusan, semua keputusan ditangan pimpinannya,” tegas Hendrik.

CSY ditekankan justru merupakan pihak yang mendorong pentingnya dilakukan audit investigasi internal keuangan perusahaan. Hal itu dibuktikan dengan komunikasinya ke salah satu petinggi di Kementerian BUMN.

Dari komunikasi itu, selanjutnya induk holding perusahaan farmasi yakni PT Bio Farma turun tangan melalui Satuan Pengawasan Internal (SPI) dan dilanjutkan dengan turunnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Justru klien kami yang awalnya berkomitmen untuk membenahi perusahaan, seharusnya langkah klien kami diapresiasi. Bukan sebaliknya, orang-orang baik yang mempunyai komitmen membenahi BUMN dikriminalisasi,” tegas Hendrik.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Tino Oktaviano