Kedua, adalah adanya pelanggar Hukum Formiil/KUHAP, Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jo Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015, yang menyatakan kewajiban penyidik untuk memberikan Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan (selanjutnya disebut “SPDP”) dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor.
“Diketahui bahwa termohon (Polda Banten) tidak pernah memberikan SPDP yang menjadi hak para pemohon, dan dapat kami buktikan dengan rekaman pembicaraan dengan petugas polres Kota Tangerang dan Kejari Tangerang yang mengatakan tidak pernah menerima SPDP terkait. KUHAP jelas mengatur kewajiban sebagai sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak,” lanjut Alfan Sari.
Sementara Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm Alvin Lim, menilai tindakan penegak hukum dalam kasus tersebut melanggar hak asasi manusia.
“Masyarakat menaruh kepercayaan dan harapan bahwa Yang Mulia Hakim dapat dengan tegas menolak proses Pro Justitia yang melanggar HAM maupun Hak Konstitusional yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai kepastian hukum yang adil. Penegakkan hukum harus dilakukan tanpa melawan hukum karena apabila aparat penegak hukum menegakkan hukum dengan cara melawan hukum, maka aparat penegak hukum itu tidak ada bedanya dengan kriminal yang mereka adili dalam proses hukum,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin