Dalam aksinya para nelayan memberikan dukungan kepada komisi anti korupsi itu untuk terus mengusut tuntas kasus reklamasi Teluk Jakarta yang telah menyeret anggota DPRD, M. Sanusi dan Presdir Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja.

Jakarta, Aktual.com — Terkait dengan sidang reklamasi Teluk Jakarta, yang kembali berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setelah sebelumnya tertunda dua minggu, pihak tergugat intervensi, PT Muara Wisesa menghadirkan saksi ahli hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H. Namun, sepertinya apa yang ia sampaikan tidak dapat memberikan kepuasan kepada pihak tergugat ataupun tergugat intervensi. Karena nyatanya, keterangan saksi ahli justru membenarkan apa yang coba digugat oleh para penggugat, nelayan.

Ibnu menyampaikan, bahwasanya untuk memberikan izin, pemerintah haruslah berdasarkan peraturan yang mutakhir. Karena, jika pemerintah tetap berpegangan pada peraturan yang lama maka perizinan tersebut tidak bisa dikeluarkan.

“Kalau tidak mengikuti peraturan yang baru bisa ditolak izinnya,” ucapnya di PTUN, Pulo Gebang, Jakarta Timur, Kamis (7/4).

Hal itu nampaknya menjadi serangan balik bagi pihak tergugat, dimana pihak tergugat berpegangan pada Keppres no 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, dimana Keppres tersebut kini tidak lagi berlaku setelah disahkannya Perpres no 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Hal itu ditegaskan pada Pasal 72 huruf (C) dan (D) yang menyatakan bahwa keppres 52/1995 dan Keppres no 73/1995 tentang Reklamasi Pantai Kapuk Naga Tanggerang sudah tidak berlaku.

Adapun soal keterlambatan nelayan menyampaikan gugatan, Ibnu memang mengatakan, bahwa tenggat waktu yang sudah ditentukan oleh PTUN selama 90 hari adalah ketentuan yang tetap, tidak bisa diubah. Sehingga, jika penggugat menyampaikan di luar waktu yang ditetapkan, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima.

Tetapi, lanjut Ibnu, bilamana penggugat pada tenggat waktu yang ditetapkan tidak mengetahui keberadaan suatu kebijakan, maka hakim bisa memberikan penilaian sendiri untuk menentukan hal itu sah atau tidak.

“Saya sampaikan tadi di proses persidangan, bahwa mengetahui bisa karena pengetahuan karena akibat, karena dia memang sengaja karena pengetahuan. Kalau dia mengetahui karena akibat yang demikian itu Hakim bisa menilai atau tidak terserah,” paparnya menjelaskan.

Melanjutkan pernyataan Ibnu, Kuasa Hukum nelayan, M. Isnur menjelaskan, bahwa memang pemerintah dalam memberikan informasi kepada masyarakat tidak transparan dan tidak menyeluruh, meskipun informasi tersebut sudah muncul di media pemberitaan.

Isnur mengatakan, kesadaran nelayan tentang adanya reklamasi bukan karena adanya pemberitaan, tetapi karena adanya sebuah pulau yang tiba-tiba dibangun.

“Para nelayan ini kan gagap informasi. Mereka dapat informasi setelah mengajukan ke KIP. KIP juga ditanya jawabnya gak jelas. Akhirnya disuruh liat website itu di bulan Juni 2015. Itu yang dijadikan acuan nelayan,” sambung Isnur di lokasi yang sama.

Isnur menambahkan, izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang dimiliki oleh pihak PT. Muara Wisesa Samudra juga tidak sah. Pasalnya, izin tersebut yang menerbitkan adalah BPLHD, seharusnya sesuai Perpres no 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berwenang menerbitkan izin Amdal adalah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Walhasil, jika Ahok memberikan izin reklamasi Pulau G pada 23 Desember 2014, maka hal itu merupakan maladminitrasi.

“Perpres 122 tahun 2012 yang berhak mengesahkan Amdal adalah Menteri Lingkungan Hidup bukan BPLHD DKI Jakarta menurut ahli. Kecuali, Perpres ini keluar sebelum perpanjangan, barulah terbit peraturan setelah itu maka gak bias. Tapi kalau perpres keluar sebelum permohonan perpanjangan harus mengacu pada Perpres ini (122/2012). Izin prinsip tahun 2014 dan izin perizinan reklamasi menurut ahli itu cacat administrasi,” pungkas Isnur.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka