Lima Indikator Pemenangan Ahok: Dari Istana, Polri Hingga BIN. (ilustrasi/aktual.com)
Lima Indikator Pemenangan Ahok: Dari Istana, Polri Hingga BIN. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pengamat politik Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti menyatakan silaturahmi politik Presiden Joko Widodo ke beberapa elit politik dan tokoh-tokoh agama sulit disangkal keterkaitannya dengan Aksi Bela Islam II, 4 November 2016 mendatang.

Aksi Bela Islam II apabila tidak dibendung, dikhawatirkan akan meluas menjadi isu evaluasi terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi dalam dua tahun terakhir.

“Silaturrahmi itu bagian dari upaya Jokowi untuk menekan agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Khususnya berkembangnya isu menuntut pertanggungjawaban Jokowi,” kata Ray dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/11).

Efektifitas silaturahmi dan himbauan Jokowi akan terlihat langsung pada 4 November. Dengan kata lain pada Hari Jumat lusa adalah ujian bagi wibawa Jokowi. Sejauh apa pengaruh dan wibawanya dapat menjadi titik temu politik. Di luar itu, peristiwa hiruk-pikuk politik jelang Pilkada ini yang akibatnya mengharuskan Jokowi terlibat dapat dilihat dalam tiga poin.

Pertama, bahwa pada tingkat tertentu tingkat kepuasaan publik atas kinerja Jokowi tidak dengan sendirinya menguatkan dukungan politk baginya. Nama Jokowi yang dikaitkan-kaitkan dalam kasus ini adalah salah satu indikasinya.

“Sikap diam Presiden malah dibaca sebagai sikap berpihak. Ada keraguan bahwa Jokowi bersikap netral dalam hal ini,” jelas Ray.

Kedua, dalam dua tahun terakhir politik Jokowi yang lebih menekankan pada aspek pembangunan fisik sedikit banyak berimplikasi pada kosongnya wacana-wacana kebangsaan. Dalam kekosongan itulah desiminasi pandangan-pandangan anti demokrasi berkembang. Makna demokrasi didangkalkan, prinsip-prinsipnya diacuhkan. Presiden memang bekerja pada wilayah politik.

“Tapi kerja-kerja politik itu lebih pada tujuan penguatan kekuasaan dibandingkan pembangunan kebangsaan dan pematangan demokrasi. Akibatnya, kekuasaannya memang terkonsolidasi, tapi ruang publiknya terjauhkan,” kata dia.

Kelima, saat presiden dihadapkan pada masalah kebangsaan, koalisi besar kekuasaannya seperti tidak berdaya dan bekerja optimal. Nampak tak terlihat upaya yang cukup dan signifikan dari koalisi partai politik pendukung Presiden untuk melakukan langkah-langkah yang membantu presiden menutupi ruang politik kebangsaan tadi.

“Ujung-ujungnya harus Presiden sendiri yang menangani dan terlibat langsung,” urainya.

Koalisi politik yang dominan dan besar bahkan seperti tidak berdaya menepis situasi politik yang menautkannya dengan Presiden. Koalisi besar terlihat efektifnya dalam urusan kekuasaan tapi tidak terlihat dalam urusan menutupi sisi yang terlupakan dari kebijakan dan pilihan-pilihan program politik Presiden.

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby