Pimpinan KPK Agus Rahardjo (keempat kanan) dan Saut Situmorang (ketiga kiri) ikut serta memukul kentongan saat massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi di halaman Gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/2/2016). Massa menolak revisi Undang-undang KPK karena dapat melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.

Jakarta, Aktual.com — Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Assyafiyah, Habloel Mawadi menilai bahwa sikap komisioner Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menolak rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai ‘Lebay’ (berlebihan).

“Saya melihat KPK memilki ketakutan yang berlebihan terhadap rencana revisi UU KPK yang sedang bergulir,” kata pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Assyafiyah, Habloel Mawadi di Jakarta, Jumat (19/2).

Lebih lanjut Habloel melihat poin-poin di dalam draf revisi undang-undang tersebut, justru untuk memperkuat serta menegaskan apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan prosedur dan mekanisme dan dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Habloel, empat poin krusial dalam draf revisi UU KPK bukanlah poin yang akan melemahkan lembaga KPK, tetapi justru sebagai upaya mendorong KPK menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

“Karena dalam penanganan perkara, KPK pernah beberapa kali kalah ketika perkara yang ditanganinya di praperadilankan,” kata Habloel.

Kejadian tersebut, tambahnya, mengharuskan revisi UU KPK menjadi relevan untuk diparipurnakan.

Sementara terkait poin dewan pengawas KPK dalam draf revisi, kata Habloel, tidak perlu dikhawatirkan akan membatasi kinerja KPK dalam memberantas korupsi, karena kinerja KPK tetap dilakukan berdasarkan prinsip kolektif kolegial.

Sedangkan Dewan Pengawas, tambahnya, hanya berfungsi sebagai supervisi atau dewan etik, yang diharapkan nantinya diisi oleh tokoh-tokoh negarawan, yang memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi.

“Orang-orang seperti itu cukup banyak di Indonesia dan saya yakin sangat pro terhadap pemberantasan korupsi di republik ini dan tidak akan membatasi. Kalau sudah sesuai dengan mekanisme, kenapa harus takut untuk diawasi, kan begitu,” katanya.

Terkait soal penyadapan, yang akan diatur untuk memperoleh izin terlebih dahulu dari dewan pengawas, pengajar hukum di UIA Jakarta ini mengakui bahwa penyadapan sebagai sarana penting untuk memburu para koruptor, tetapi penyadapan tetap harus dilakukan melalui prosedur dan mekanisme.

“Sehingga tidak sembarang orang yang akan disadap. Dan lagi pula selama ini, penyadapan itu kerap melebar dengan mengumbar pada persoalan-persoalan yang lain, seperti persoalan pribadi misalnya,” kata Habloel.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Nebby