Yogyakarta, Aktual.com – Lembaga Bantuan Hukum Yogya bersama ratusan warga terdampak yang tergabung di paguyuban Wahana Tri Tunggal, Senin (7/11) siang menggeruduk kantor Badan Lingkungan Hidup Provinsi DIY. Mereka menyampaikan keberatan atas rencana studi Amdal oleh Angkasa Pura 1 selaku pemrakarsa.

Hal ini menyusul konferensi pers yang dilakukan warga WTT di kantor LBH Yogya, Jumat (4/11) lalu. Kepala Divisi Ekosob LBH Yogya Yogi Zulfadhli mengatakan, rencana studi Amdal seharusnya dilakukan di tahap perencanaan, bukan ketika proses pembebasan lahan. Bahkan, ganti rugi sudah terjadi seperti saat ini, di tahap pelaksanaan. Akibatnya, berbagai konflik sosial muncul di masyarakat terutama warga terdampak.

“Tatanan sosial masyarakat disana jadi berantakan, antar warga bahkan keluarga sudah terjadi konflik,” ujar Yogi saat audiensi dengan pihak BLH Provinsi DIY. Hal ini yang menurutnya tidak pernah dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah.

Berbagai masalah seharusnya dapat terbaca jika sebelumnya telah ada dokumen Amdal jauh-jauh hari, agar konflik yang muncul bisa teratasi. Adanya konflik, Kepala BLH Provinsi DIY Joko Wuryanto pun berjanji bakal mengkaji serta meneruskan pengaduan dan keberatan, yang diterima ke Kementerian terkait.

Silang Persepsi Tahap Perencanaan

Terkait perbedaan pandangan soal tahap perencanaan, Joko menganggap proses pembebasan lahan masuk tahap perencanaan, tujuannya supaya pihak pemrakarsa memiliki hak atas tanah yang dapat diuji sertifikatnya.

Sementara Kabid Penaatan dan Kajian Lingkungan BLH Provinsi DIY Atmaji Widi Susilo menambahkan, tidak ada aturan yang eksplisit kapan Amdal dilakukan, apakah setelah pembebasan lahan atau sebelumnya. Pihak LBH Yogya pun menyayangkan pernyataan tersebut.

“Sekelas Kepala BLH Provinsi harusnya lebih menguasai bagaimana hukum lingkungan yang berlaku di Indonesia,” sindir Yogi Zulfadhli.

Sedangkan Joko, saat dikonfirmasi mengenai kontroversi terbitnya Izin Penetapan Lokasi mengatakan, meski rencana studi Amdal baru digagas sekarang, izin tersebut menggunakan dasar Amdal Lalu Lintas yang kewenangannya bukan dibawah naungan instansinya, melainkan Dinas Perhubungan terkait, termasuk Kementerian Perhubungan.

Sementara, pihak dari Wahana Lingkungan Hidup DIY melalui Halik Sandera tidak sependapat, karena penggunaan Amdal Lalin sebagai dasar penerbitan IPL jelas tidak berdasar. “Amdal Lalin itu kan cuma untuk urusan wilayah udara, karena ini bandara berarti terkait kondisi dan pemanfaatan ruang udaranya saja,” ujar Halik saat dihubungi Aktual.

“Ruang yang ada di darat merupakan pertimbangan yang tak kalah penting, sebab ada keterkaitan dengan aspek lain seperti sumber daya alam, apalagi lahan-lahan warga yang terdampak tidak hanya 1 persil, tapi banyak.”

Dia menambahkan, peraturan perundangan yang ada sudah sangat jelas bahwa ihwal pembebasan lahan dan ganti rugi itu bukan lagi masuk tahap perencanaan, melainkan pra-konstruksi. “Di setiap pemerintahan kan memiliki biro hukum, ya seyogyanya memberi pandangan yang benar. Tinggal bagaimana komitmen pemangku kebijakan untuk taat pada peraturan itu,” sindirnya.

Pengumuman Rencana Studi Amdal

Diketahui, 31 Oktober 2016, pihak AP1 mengumumkan konsultasi publik untuk rencana studi Amdal pembangunan megaproyek NYIA Kulonprogo selama 10 hari sejak diumumkan.

Dalam publikasi itu, AP1 mengklaim keberadaan NYIA mampu memberi dampak positif seperti terbukanya lapangan kerja dan peningkatan peluang usaha (tahap konstruksi dan operasi), kenaikan pendapatan masyarakat umum dan daerah, serta meningkatnya kualitas pelayanan transportasi jika telah beroperasi.

Sedangkan, dampak negatif yang dipaparkan hanya seputar tahap konstruksi berupa penurunan kualitas udara, meningkatnya kebisingan dan getaran (termasuk tahap operasi), gangguan flora fauna dan lalu lintas, serta perubahan sikap dan persepsi masyarakat.

Menurut pemrakarsa, megaproyek bandara internasional ini memakan luas lahan lebih kurang 637 hektar dengan panjang landas pacu sejauh 3.250 meter. Lokasi terdampak antara lain desa Palihan, Glagah, Jangkaran, Sindutan, Kebon Rejo (Kec. Temon), termasuk desa Karangwuni (Kec. Wates). Tipe terminal yakni Dual Loading Linear dengan luas 130 ribu meter persegi.

Laporan: Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Wisnu