Ilustrasi- Petugas sedang mengintrol kesehatan pasien Covid19

JAKARTA, Aktual.com – Dokter spesialis bedah onkologi dari Universitas Indonesia, dr. Farida Briani Sobri, SpB (K)Onk, membantah anggapan sebagian orang yang mengatakan biopsi dapat menyebabkan benjolan atau tumor makin memburuk.

“Bila biopsi dilakukan sesuai standar medis maka tidak benar biopsi membuat tumor menjadi buruk,” ujar dia dalam sebuah diskusi kesehatan secara virtual mengenai kanker payudara, Sabtu.

Biopsi adalah prosedur medis yang dilakukan dengan mengambil sampel jaringan untuk diperiksa lebih lanjut menggunakan mikroskop. Biopsi merupakan pemeriksaan histopatologi sebagai acuan untuk membantu dokter menentukan jenis kanker dan pengobatan penyakit yang optimal.

Menurut Farida, biopsi tidak akan mengubah sifat tumor. Bila tumor ternyata ganas atau kanker maka biopsi tidak akan menyebabkannya semakin menyebar ke organ lain.

Sebaliknya, hasil biopsi bisa menjadi informasi penting bagi dokter untuk mengobati pasien dengan cara tepat.

Pemeriksaan biopsi ini berbeda dari tindakan USG, mamografi atau MRI yang sifatnya pencitraan dan tak mengarah pada diagnosis pasti melainkan sebatas kecurigaan terhadap suatu benjolan yang ditemukan.

“Harus tanya diagnosis patologinya sehingga biopsi indikasi dikerjakan bila para dokter pada pemeriksaan fisik atau klinis menemukan massa yang kami curigai ganas, juga pada pemeriksaan yang meragukan untuk mendapatkan kepastian,” kata Farida yang berpraktik di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre itu

Saat ini ada beragam metode biopsi, namun satu yang menjadi rekomendasi para dokter onkologi yakni biopsi jarum inti atau core biopsy dengan panduan USG karena akurasinya tinggi yakni 97-99 persen dan bisa membedakan lesi in-situ dengan lesi invasif.

Core biopsy dianjurkan ahli onkologi seluruh dunia karena bermanfaat dalam menentukan jenis kanker dan terapi yang optimal,” tutur Farida.

Awalnya, metode biopsi ini hanya untuk mendeteksi benjolan tak teraba, tetapi sekarang digunakan pada semua benjolan payudara bahkan yang besarnya 0,5 cm.

Sementara itu, metode lainnya yakni biopsi jarum halus (FNAB) yang masih banyak dilakukan sudah tidak disarankan lagi, karena akurasinya rendah. Menurut Farida, seringkali pasien setelah dibiopsi FNAB akhirnya harus menjalani biopsi lain untuk mendapatkan kepastian diagnosis.

Di sisi lain, apabila FNAB menghasilkan diagnosis keganasan, maka ini tidak dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan imunohistokimia untuk mendapatkan data sifat biologi kanker.

Selain itu, ada pula biopsi dengan operasi terbuka. Prosedur ini konvensional atau kuno ini memiliki risiko komplikasi seperti perdarahan, infeksi dan biaya lebih tinggi.

(Shavna Dewati Setiawan | ANTARA)

Artikel ini ditulis oleh:

Aktual Academy