Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan*

ISTILAH negara gagal sering terasa berlebihan di telinga banyak orang Indonesia. Kita merasa masih punya pemilu, masih ada pembangunan, masih ada jalan tol dan bandara baru. Tapi jika memakai parameter Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), gambarnya jauh lebih gelap.

Laporan PBB melalui UNCTAD berjudul A New World of Debt 2025 menunjukkan tren global yang mengkhawatirkan: di banyak negara berkembang, belanja untuk membayar bunga utang tumbuh jauh lebih cepat dibanding anggaran pendidikan dan kesehatan. Dalam banyak kasus, bunga utang bahkan mengalahkan dua sektor vital itu.

Celios (Center of Economic and Law Studies) menghitung bahwa sepanjang 2015–2025, porsi belanja bunga utang Indonesia secara konsisten lebih besar daripada anggaran kesehatan. Pada 2024, rasio beban bunga utang terhadap anggaran kesehatan sempat menyentuh kisaran 266 persen, dan masih sekitar 253 persen pada 2025. Dibandingkan anggaran pendidikan, bunga utang mencapai sekitar 85 persen pada 2024 dan 76,3 persen pada 2025.

Sekjen PBB António Guterres menjelaskan, ketika sebuah negara mengeluarkan anggaran lebih besar untuk membayar bunga utang ketimbang untuk pendidikan atau kesehatan, itu adalah tanda kegagalan sistemik: negara bekerja untuk melayani kreditur, bukan warganya.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, lalu menyimpulkan: jika memakai parameter PBB, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara gagal secara sistemik, karena utang yang ditarik pemerintah belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya manusia.

Jadi, kalau kita jujur, pertanyaannya bukan lagi “Apakah Indonesia menuju negara gagal?” tetapi “Kenapa fondasi kenegaraan kita memproduksi kegagalan seperti ini, bahkan ketika ekonominya terlihat berjalan?”

Di sinilah kita perlu kembali ke hal yang paling mendasar: desain sistem presidensial yang kita pakai.

Tiga Organ Dasar Governance Sehat

Sebelum menyalahkan siapa pun, mari bicara tentang desain organ kekuasaan yang sehat, baik di perusahaan, lembaga publik, maupun negara. Secara sederhana, organisasi yang waras butuh tiga organ utama:

  1. Organ No.1 – Pengambil Keputusan Tertinggi

Ini adalah sumber legitimasi dan penentu arah besar.

  • Di negara ideal: inilah kepala negara, simbol kedaulatan, penjaga konstitusi, dan representasi tertinggi rakyat.
  • Tugas utamanya: menjaga keseimbangan kekuasaan, bukan mengurusi teknis harian.

Organ No.1 adalah “penjaga rumah”, bukan “kuli bangunan”. Ia mengawasi arah, bukan memegang cangkul setiap hari.

  1. Organ No.2 – Pengurus atau Pelaksana

Ini adalah manajemen eksekutif.

  • Di negara: kepala pemerintahan, politisi yang memimpin kabinet, menyusun dan menjalankan kebijakan, mengelola birokrasi, dan mengurusi urusan harian negara.
  • Tugasnya: memastikan mesin pemerintahan bekerja, target tercapai, dan program berjalan.

Secara analogi perusahaan, ini adalah direktur utama dan jajaran direksi: sibuk dengan operasional, anggaran, dan target.

  1. Organ No.3 – Pengawas atau Dewan Kontrol

Ini adalah rem dan sensor.

  • Di negara: parlemen, lembaga audit, badan pemeriksa, mahkamah, dan sistem hukum.
  • Tugasnya: memastikan Organ No.2 tidak menyimpang dan Organ No.1 tetap dihormati; menjadi korektor jika ada penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam perusahaan, ini mirip dewan komisaris, auditor, dan pemegang saham yang mengawasi direksi.

Tiga organ ini secara prinsip harus terpisah, sehingga:

  • Tidak ada satu pihak yang membuat aturan sekaligus mengeksekusi dan mengawasi dirinya sendiri.
  • Organisasi tetap berdiri, meski orang di dalamnya berganti.

Masalah Utama: Presidensialisme Menyatukan Organ No.1 dan No.2

Di atas kertas, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Masalahnya, dalam praktik, sistem presidensial kita menyatukan dua organ yang seharusnya terpisah:

  • Presiden sebagai Kepala Negara (organ No.1), dan
  • Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (organ No.2).

Artinya, dalam satu figur yang sama berkumpul:

  • simbol kedaulatan tertinggi,
  • penjaga konstitusi dan arah negara, sekaligus
  • pelaksana teknis harian, pemimpin kabinet, pengendali birokrasi, dan kepala mesin politik.

Secara governance, ini cacat desain.

Tak ada perusahaan sehat yang menjadikan komisaris utama sekaligus direktur utama dalam satu orang. Tak ada organisasi modern yang menggabungkan peran pemilik legitimasi tertinggi dengan pelaksana teknis harian tanpa menciptakan konflik kepentingan.

Begitu Organ No.1 dan No.2 disatukan, lahirlah jalur kekuasaan tunggal yang sulit dikontrol, apalagi bila Organ No.3 (pengawas) lemah, tersandera kepentingan, atau hanya menjadi stempel.

Konsentrasi Kekuasaan: Jalan Cepat Menuju Negara Gagal

Ketika Presiden merangkap kepala negara dan kepala pemerintahan, konsekuensinya sangat serius:

  • Presiden yang menentukan arah dan visi negara
  • Presiden yang menyusun dan menjalankan kebijakan
  • Presiden yang mengontrol birokrasi dan aparat politik
  • Presiden yang memegang akses ke anggaran, utang, dan program populis
  • Dan pada tahap tertentu, kritik terhadap pemerintah dianggap sama dengan kritik terhadap negara

Inilah ciri klasik konsentrasi kekuasaan:
negara direduksi menjadi figur, dan figur melebur dengan negara.

Secara praktik, ini menghasilkan:

  • Kebijakan fiskal yang mudah jatuh pada populisme utang demi citra dan elektabilitas
  • Ambisi proyek besar yang dibiayai utang, sementara kesehatan dan pendidikan “dikorbankan”
  • Ruang koreksi yang sempit karena kritik dianggap “merongrong stabilitas”

Ketika bunga utang terus melompat, menggerus anggaran kesehatan dan pendidikan, itu tidak hanya salah keputusan teknis. Itu tanda bahwa sistem memberi insentif salah: lebih mengutamakan menjaga wajah kekuasaan di atas kepentingan jangka panjang rakyat.

Negara Maju Justru Memisahkan Organ 1 dan Organ 2

Jika kita melihat banyak negara dengan demokrasi relatif stabil, seperti Belanda, Inggris, Jepang, Kanada, Denmark, Norwegia, Swedia, Australia, pola yang muncul cukup jelas:

  • Ada kepala negara yang relatif netral (raja/ratu atau presiden seremonial), simbol kontinuitas dan kedaulatan.
  • Ada kepala pemerintahan (perdana menteri) yang menjalankan politik harian, bisa naik dan turun lewat mekanisme pemilu dan mosi tidak percaya.

Hasil dari pemisahan peran ini antara lain:

  • Kebijakan jangka panjang negara tidak sepenuhnya digadaikan pada siklus pemilu lima tahunan
  • Krisis politik bisa diredam tanpa mengguncang legitimasi negara secara keseluruhan
  • Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan relatif lebih rendah, karena ada lebih banyak titik kontrol struktural
  • Negara tidak dikendalikan oleh satu figur yang memonopoli simbol negara sekaligus mesin kekuasaan

Apakah negara-negara itu sempurna? Tentu tidak. Tapi fondasi governance mereka lebih waras: simbol negara dan operator politik dipisah, sehingga kegagalan seorang perdana menteri tidak otomatis menyeret negara ke krisis legitimasi total.

Indonesia? Kita menumpuk semuanya pada satu jabatan bernama Presiden.

Pelajaran dari Ilmu Politik: Presidensialisme Memang Rentan

Ini bukan sekadar opini emosional. Dalam kajian ilmiah, Juan J. Linz, ilmuwan politik dari Yale University, sejak lama mengingatkan tentang The Perils of Presidentialism: sistem presidensial cenderung lebih rapuh dibanding sistem parlementer, terutama di negara yang masyarakat dan partainya terbelah.

Beberapa pola yang sering muncul dalam presidensialisme:

  • Pemilu presiden bersifat zero-sum: “pemenang mengambil semua”, membuat polarisasi tajam dan sulit kompromi.
  • Konflik antara eksekutif dan legislatif mudah buntu, tapi keduanya sama-sama membawa legitimasi langsung dari rakyat.
  • Presiden terdorong memakai anggaran, termasuk lewat utang, untuk menjaga popularitas, bukan semata memperkuat institusi jangka panjang.

Meta-analisis terbaru bahkan menemukan bahwa sistem presidensial secara statistik cenderung berkorelasi dengan korupsi yang lebih tinggi dibanding sistem parlementer.

Kalau kita sandingkan temuan ini dengan realitas Indonesia, utang membengkak, bunga utang menggerus anggaran publik, pengawasan fiskal lemah, maka sulit menolak fakta bahwa:

Desain sistem presidensial Indonesia ikut menyuburkan kondisi negara gagal secara sistemik.

Indonesia: Bangunan Besar di Atas Pondasi Retak

Indonesia sering disebut “negara besar yang potensinya luar biasa”. Tetapi potensi itu disandarkan pada pondasi kekuasaan yang retak:

  • Organ No.1 dan No.2 disatukan dalam satu figur presiden
  • Organ No.3 (pengawasan) rapuh, terkooptasi, atau dijadikan sekadar ornamen demokrasi
  • Utang dipakai sebagai instrumen politik, bukan instrumen transformasi jangka panjang
  • Belanja bunga utang mengalahkan sektor dasar seperti kesehatan, bahkan mendekati belanja pendidikan
  • Rakyat diminta “percaya pada negara”, padahal desain negara justru memproduksi ketergantungan pada utang dan populisme fiskal

Karena itu, ketika PBB memberi parameter bahwa negara yang mengutamakan bayar bunga utang ketimbang pendidikan dan kesehatan adalah negara dengan kegagalan sistemik, dan ketika data Celios menunjukkan Indonesia persis berada di titik itu, sulit untuk tidak menyimpulkan:

Indonesia gagal bukan karena rakyatnya bodoh, atau semata-mata karena pemimpinnya buruk; Indonesia gagal karena fondasi sistem presidensialnya cacat desain.

Bangunan sebesar apa pun tak akan pernah kokoh jika pondasinya retak. Selama kita mempertahankan desain di mana:

  • Kompas kedaulatan (Organ No.1) menyatu dengan sopir kendaraan (Organ No.2),
  • sementara rem dan sensor (Organ No.3) lemah,

Maka krisis demi krisis akan terus berulang dari utang, ketimpangan, hingga runtuhnya kepercayaan publik.

Saatnya Mengakui Akar Masalah

Menyebut Indonesia sebagai “negara gagal secara sistemik” memang menyakitkan. Tapi lebih berbahaya jika kita menolak mengakui akar masalahnya.

Selama kita hanya sibuk mengganti nama presiden tanpa menyentuh arsitektur presidensialisme yang menggabungkan Organ No.1 dan No.2, kita hanya memindahkan masalah dari satu figur ke figur lain.

Perdebatan ke depan seharusnya bergeser dari sekadar:

“Siapa presidennya?” menjadi:

“Apakah desain presidensial seperti sekarang ini masih layak dipertahankan, jika data menunjukkan kita sedang melaju menuju kegagalan sistemik?”

Tanpa bedah fondasi, tanpa keberanian mengoreksi desain presidensial yang salah, Indonesia akan terus menjadi contoh klasik: negara besar, kaya sumber daya, tapi gagal menjadi rumah yang adil bagi warganya.

*Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute