Jakarta, aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI, diharapkan memonitor rencana Kementerian Tenaga Kerja RI dalam Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) Pekerja Migran Indonesia ke Arab Saudi.
Koordinator Komite Milenial Anti Korupsi (KOMIK) Agus L mengkhawatirkan ada potensi kongkalikong dalam program ini.
“Dari awal terlihat keanehan tentang perusahaan penempatan yang ditunjuk untuk melakukan penempatan melalui program SPSK ini. Di dalam Kepmenaker No. 291 pada bab III nomor 1 K disebutkan bahwa perusahaan penempatan harus memiliki surat atau bukti keanggotaan dalam asosiasi yang ditunjuk sebagai wakil dari Kadin,” kata Agus dalam keterangannya, Sabtu (28/9).
Agus juga menyoroti Kepmenaker nomor 291 bab III nomor 2 yang menyatakan bahwa pekerja imigran merupakan tanggung jawab dari asosiasi.
Keputusan ini, lanjut Agus, seakan-akan meniadakan fungsi Kemenaker yang seharusnya melindungi pekerja migran terkesan tidak berfungsi.
Selain itu, Agus juga mempersoalkan indikasi semakin menguatnya posisi APJATI sebagai asosiasi dalam program SPSK berdasarkan surat Dirjen Binapenta dan PKK pada tanggal 17 September 2019, pada poin 4 menyatakan bahwa DPP APJATI melalui surat nomor 031/-BDPP-APJATI/IX/2019 tanggal 5 September 2019 bahwa perusahaan penempatan telah melakukan persiapan, pendataan, dan lain sebagainya berdasarkan koordinasi dengan APJATI.
Selain poin 4, Agus juga menyatakan adanya kejanggalan pada poin 6 dimana Asosiasi telah menunjuk sebuah perusahaan sebagai penyelenggara job fair bagi calon pekerja migran.
Hal ini, tegas Agus, bertentangan dengan UU No 18/2017 yang menyebutkan bahwa penyelenggara job fair bagi pekerja migran adalah pemerintah daerah.
Alasan-alasan inilah yang membuat Agus mendorong KPK dan Ombudsman agar segera melakukan monitoring secara intensif.
“Masalah penempatan pekerja imigran ini sangat sensitif. Seharusnya kementerian tidak mengeluarkan kebijakan apa pun di akhir masa jabatan. Apalagi yang ditempatkan adalah manusia (pekerja imigran) sehingga tak layak dicoba-coba.” tegas Agus.
Menurut dia, seharusnya pemerintah lebih transparan dalam penyusunan teknis pelaksanaan dan tidak tergesa-gesa saat mengeluarkan kebijakan atau aturan apapun yang berkaitan dengan SPSK ini.
“Publik akhirnya akan menilai, apakah benar SPSK ini harus dijalankan dengan cara cara sehat dan menjamin perlindungan pekerja migran namun hanya untuk mengeruk keuntungan semata, atau pemerintah betul-betul memikirkan perlindungan bagi warganegaranya,” tutup Agus.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin