Era KKSK Dorodjatun, sisa ttang Sjamsul Nursalim Rp3,7 Triliun dihapuskan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Ahli hukum senior Dr Maqdir Ismail menilai permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Kapolri dan Interpol memasukkan “red notice” (daftar merah) untuk menangkap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, merupakan tindakan berlebihan dan tidak berdasarkan hukum.

“Menurut hemat saya, permintaan KPK kepada Kapolri terkait DPO dan bantuan pencarian melalui red notice, bahkan meminta bantuan Interpol untuk menangkap Bapak Sjamsul Nursalim dan Ibu Itjih Nursalim, sebagaimana disampaikan oleh Febri Diansyah Jurubicara KPK, adalah pernyataan berlebihan dan tidak berdasarkan atas hukum,” kata Maqdir, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/11)

Maqdir meminta KPK menghormati putusan Mahkamah Agung dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) yang secara tegas menyatakan bahwa dia tidak melakukan perbuatan pidana korupsi. SAT juga tidak terbukti merugikan keuangan Negara sebab apa yang dilakukan dalam masa jabatannya sebagai Kepala BPPN hanya menjalankan kewajibannya dan melaksanakan perintah jabatan.

“Oleh karena dalam perkara SAT yang didakwa bersama-sama dengan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim tidak terbukti melakukan perbuatan pidana, maka secara mutatis mutandis Sjamsul Nursalim dan Ibu Itjih Nursalim juga tidak melakukan perbuatan pidana korupsi,” kata Maqdir.

Apalagi, katanya, menurut putusan MA, pemberian SKL oleh BPPN kepada SN dianggap bukan merupakan perbuatan pidana.

“Maka pihak penerima SKL tidak dikatakan telah melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu jika KPK menganggap ada perbuatan pidana yang dilakukan oleh Penerima SKL, tentu pendapat tersebut adalah pendapat yang keliru,” katanya.

Maqdir menegaskan bahwa dalam Putusan MA itu jelas betul, pada hal 107-108 dinyatakan, “Bahwa LHP BPK Nomor 12/LHP/XXI/ tanggal 25 Agustus 2017 tidak sesuai dengan Standar Pemeriksaan Audit yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Yaitu, tidak dilakukan uji kelayakan atas bukti dokumen pendukung dalam LHP BPK tahun 2017 dengan dokumen atau informasi yang pernah diterima oleh Auditor BPK pada Tahun 2002 dan 2006 sebelumnya.”

Hal ini, tegas Maqdir, menunjukkan kerugian yang didalilkan Jaksa Penuntut Umum KPK bersifat “in dubio pro reo”, bahwa dalam hal timbul keraguan atau ketidakjelasan dalam menentukan suatu kejadian maka harus diputus dengan menguntungkan Terdakwa.

Dia menjelaskan bahwa dalam perkara SAT ini tidak ada kerugian keuangan negara. Ketika tidak ada kerugian keuangan negara, maka tidak satu orang pun dapat dijadikan sebagai tersangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor, sebagaimana dipersangkakan kepada SN dan IN, karena unsur pokok dari pasal ini adalah kerugian keuangan negara.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya terus berupaya mengembalikan kerugian keuangan negara sekitar Rp4,58 triliun terkait kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Pada prinsipnya, KPK terus berupaya kembalikan kerugian negara Rp4,58 triliun ke negara,” ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (21/11).

Febri menyatakan jika kerugian negara tersebut bisa dikembalikan maka dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan.

“Jumlah ini sangat besar nilainya jika nanti dapat dimanfaatkan untuk pembangunan sarana pendidikan, kesehatan atau pelayanan publik lainnya,” ucap Febri.

Soal pengembalian kerugian negara tersebut, juga dibutuhkan dukungan dari instansi-instansi lainnya yang terkait.

Dalam penyidikan kasus BLBI, KPK juga telah mengirimkan surat kepada National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia perihal bantuan pencarian melalui red notice atau daftar merah terhadap tersangka Sjamsul Nursalim (SJN) dan istrinya Itjih Nursalim (ITN).

“Sebelumnya KPK mengirimkan surat pada Kapolri terkait DPO dua orang tersangka kasus korupsi terkait pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN, KPK juga telah mengirimkan surat pada Ses NCB Interpol Indonesia perihal bantuan pencarian melalui “red notice” terhadap tersangka SJN dan ITN,” kata Febri.

Keduanya merupakan tersangka kasus korupsi terkait pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan